Minggu, 3 Maret 2013. Saat itu pukul 13:30. Waktu yang
bertepatan dengan aksi pentas yang akan ditunjukkan oleh sebuah komunitas
bernama Deaf Art Community Jogjakarta, bila sesuai dengan jadwal. Terobos sana,
terobos sini, hanya sekitar 10 menit yang saya butuhkan dari Kopma UGM untuk
sampai ke Benteng Vrederburg, tempat acara itu berlangsung. Dengan berlari
kecil, melupakan tiket parkir, menghiraukan tiket masuk, saya berhasil memasuki
Gedung E lantai 2, persis sedetik sebelum pertunjukan dimulai. Meringsek ke
bagian depan, penuh penasaran, ngapain sih mereka?
Tepat 9 anak muda berseragam dominan merah, dan hitam di
bagian lengan, mulai membentuk formasi di depan panggung. Bahkan salah satu
dari mereka, tepat di tengah formasi, ada seorang anak kecil yang mungkin
berumur tak lebih dari 12 tahun, berdiri gagah dengan memasang senyum lepas di
wajahnya. Ada lagi di atas panggung, 4 orang pemuda yang sudah siap dengan mic
di tanganya. Kecuali sang pemetik gitar yang duduk dengan mic yang diarahkan
persis di tengah lubang gitar bolongnya. Tidak, mereka tidak memakai seragam
seperti yang digunakan 9 anak di depan panggung. Ah, ya! Tebakan saya mereka
akan bernyanyi, lalu yang lain berjoged.
Bener aja, 4 orang yang di atas panggung tadi mulai menutup
ujung mic nya dengan kedua tangan, lalu disumpel ke depan mulutnya, sampe
nyentuh, ohh.. khas sekali gaya rapper-rapper professional. Ada yang nge-bass,
ada treble, ada juga yang jadi sound effect yang bunyinya aneh-aneh. Dan, ke-9
orang tadi pun mulai beraksi.
Gerakan demi gerakan dilakukan. Tangan, kaki, siku tangan, lutut
kaki, kepala, leher, semuanya lah digunain, dan semuanya pas dengan irama.
Irama rapper yang nge-beat dan penuh
semangat. Keren, semuanya kompak. Bahkan ada salah satu anak, seumuran saya,
yang unjuk gigi paling depan sendiri. Lincah, energik, pede, menatap penonton
dengan muka sombong tapi tetap diakhiri dengan senyum. Ah, keren pokoknya.
Hingga akhirnya pertunjukkan pun selesai. Tapi sayang, tak
ada satu pun tepuk tangan penonton yang terdengar.
Kalian tahu mengapa? Karena mungkin sekeras apapun tepuk
tangan kita, mereka tak akan bisa mendengarnya. Ya, mereka, ke-9 orang yang
nge-dance tadi, semuanya tuli dan bisu…
Bagaimana bisa mereka bergerak sesuai irama? Bagaimana cara
mereka menghafal gerakan? Bagaimna mereka bisa kompak? Bagaimana… mereka kan
gak bisa denger? Kesemua pertanyaan itu yang memenuhi isi kepala ini. Heran,
dan kagum. Cuman bisa geleng-geleng. Sampai akhirnya saya bertemu dengan
relawan dari komunitas DAC yang membimbing anak-anak itu.
“Mereka memang gak bisa denger mas, tapi mereka bisa merasakan
alunan musik itu dari sini, dari hati. Mereka merasakan getaran yang timbul di
dalam dada, yang membuat mereka bisa bergerak sesuai irama”. Relawan itu terhenti sejenak. Lidahnya
tertahan, lalu kembali berkata, “Karena mendengar yang sesungguhnya itu pake
hati mas..”
Crokk. Panah seakan menembus badan. Masuk melewati
selah-selah antara hati dan jantung, dirobek semuanya. Saya mati ngedengernya.
Tertunduk. Berfikir. Pantas saja banyak hal yang terdengar tapi lewat begitu
saja. Mungkin karena masih hanya menggunakan telinga, bukan hati.
Obrolan berlanjut hingga saya bertanya, “Mereka pernah
ngerasa gak semangat atau putus asa gak mba?” dan beliau pun mengingat-ingat,
memandang langit-langit, lalu kembali bercerita. “Pernah suatu ketika seorang
anak mendatangi kita lalu berkata, saya ingin jadi dokter mbaak, bisa gak?”
Crokk. Panah yang berbeda kembali menghujam jantung saya.
Tidak, tidak sanggup lagi saya mendengar kelanjutan ceritanya. Mendengarnya
saja saya sambil menunduk. Tidak kuat pak. Sambil menahan kelenjar air mata, saya
coba dengar lagi ceritanya dengan samar-samar. Antara pengen dengerin dan tidak.
Ah, gila.
Saya beruntung pak. Setidaknya lebih beruntung dari mereka
secara fisik. Ah, gak kebayang pak kalo jadi mereka. Mungkin saya sudah putus
asa seperti apa lah itu. Sekarang udah dikasih komplit, berkata masih suka
kotor, berbicara masih suka menyela, mendengar banyak yang gak berguna.
Ya, bersyukur. Mereka udah ngajarin saya buat bersyukur, dan
coba memanfaatkan yang udah dikasih se-manfaat mungkin.
Oh gak cuman sampe situ. Saat pulang, saya mampir ke musola
dulu buat solat. Dan ternyata berpapasan dengan mereka. Mereka juga mau solat.
Saya solat berbareng mereka. Selepas solat mereka pun berdoa. Berdoa seperti
biasa.
Mungkin mereka telah yakin dan tahu betul. Karena Allah gak
perlu suara untuk bisa mendengar doa dari hamba-Nya. Ia Maha Mendengar. Bahkan
mendengar isi hati. Ia Maha Mengetahui, mengetahui yang kau butuhkan nanti.
*foto menyusul, mau minta dulu*
Tidak ada komentar: