Kamis, 07 Maret 2013

Mendengar yang sesungguhnya




Minggu, 3 Maret 2013. Saat itu pukul 13:30. Waktu yang bertepatan dengan aksi pentas yang akan ditunjukkan oleh sebuah komunitas bernama Deaf Art Community Jogjakarta, bila sesuai dengan jadwal. Terobos sana, terobos sini, hanya sekitar 10 menit yang saya butuhkan dari Kopma UGM untuk sampai ke Benteng Vrederburg, tempat acara itu berlangsung. Dengan berlari kecil, melupakan tiket parkir, menghiraukan tiket masuk, saya berhasil memasuki Gedung E lantai 2, persis sedetik sebelum pertunjukan dimulai. Meringsek ke bagian depan, penuh penasaran, ngapain sih mereka?

Tepat 9 anak muda berseragam dominan merah, dan hitam di bagian lengan, mulai membentuk formasi di depan panggung. Bahkan salah satu dari mereka, tepat di tengah formasi, ada seorang anak kecil yang mungkin berumur tak lebih dari 12 tahun, berdiri gagah dengan memasang senyum lepas di wajahnya. Ada lagi di atas panggung, 4 orang pemuda yang sudah siap dengan mic di tanganya. Kecuali sang pemetik gitar yang duduk dengan mic yang diarahkan persis di tengah lubang gitar bolongnya. Tidak, mereka tidak memakai seragam seperti yang digunakan 9 anak di depan panggung. Ah, ya! Tebakan saya mereka akan bernyanyi, lalu yang lain berjoged.

Bener aja, 4 orang yang di atas panggung tadi mulai menutup ujung mic nya dengan kedua tangan, lalu disumpel ke depan mulutnya, sampe nyentuh, ohh.. khas sekali gaya rapper-rapper professional. Ada yang nge-bass, ada treble, ada juga yang jadi sound effect yang bunyinya aneh-aneh. Dan, ke-9 orang tadi pun mulai beraksi.

Gerakan demi gerakan dilakukan. Tangan, kaki, siku tangan, lutut kaki, kepala, leher, semuanya lah digunain, dan semuanya pas dengan irama. Irama rapper yang nge-beat dan penuh semangat. Keren, semuanya kompak. Bahkan ada salah satu anak, seumuran saya, yang unjuk gigi paling depan sendiri. Lincah, energik, pede, menatap penonton dengan muka sombong tapi tetap diakhiri dengan senyum. Ah, keren pokoknya.

Hingga akhirnya pertunjukkan pun selesai. Tapi sayang, tak ada satu pun tepuk tangan penonton yang terdengar.

Kalian tahu mengapa? Karena mungkin sekeras apapun tepuk tangan kita, mereka tak akan bisa mendengarnya. Ya, mereka, ke-9 orang yang nge-dance tadi, semuanya tuli dan bisu…

Bagaimana bisa mereka bergerak sesuai irama? Bagaimana cara mereka menghafal gerakan? Bagaimna mereka bisa kompak? Bagaimana… mereka kan gak bisa denger? Kesemua pertanyaan itu yang memenuhi isi kepala ini. Heran, dan kagum. Cuman bisa geleng-geleng. Sampai akhirnya saya bertemu dengan relawan dari komunitas DAC yang membimbing anak-anak itu.

“Mereka memang gak bisa denger mas, tapi mereka bisa merasakan alunan musik itu dari sini, dari hati. Mereka merasakan getaran yang timbul di dalam dada, yang membuat mereka bisa bergerak sesuai irama”.  Relawan itu terhenti sejenak. Lidahnya tertahan, lalu kembali berkata, “Karena mendengar yang sesungguhnya itu pake hati mas..”

Crokk. Panah seakan menembus badan. Masuk melewati selah-selah antara hati dan jantung, dirobek semuanya. Saya mati ngedengernya. Tertunduk. Berfikir. Pantas saja banyak hal yang terdengar tapi lewat begitu saja. Mungkin karena masih hanya menggunakan telinga, bukan hati.

Obrolan berlanjut hingga saya bertanya, “Mereka pernah ngerasa gak semangat atau putus asa gak mba?” dan beliau pun mengingat-ingat, memandang langit-langit, lalu kembali bercerita. “Pernah suatu ketika seorang anak mendatangi kita lalu berkata, saya ingin jadi dokter mbaak, bisa gak?”

Crokk. Panah yang berbeda kembali menghujam jantung saya. Tidak, tidak sanggup lagi saya mendengar kelanjutan ceritanya. Mendengarnya saja saya sambil menunduk. Tidak kuat pak. Sambil menahan kelenjar air mata, saya coba dengar lagi ceritanya dengan samar-samar. Antara pengen dengerin dan tidak. Ah, gila.

Saya beruntung pak. Setidaknya lebih beruntung dari mereka secara fisik. Ah, gak kebayang pak kalo jadi mereka. Mungkin saya sudah putus asa seperti apa lah itu. Sekarang udah dikasih komplit, berkata masih suka kotor, berbicara masih suka menyela, mendengar banyak yang gak berguna.
Ya, bersyukur. Mereka udah ngajarin saya buat bersyukur, dan coba memanfaatkan yang udah dikasih se-manfaat mungkin.

Oh gak cuman sampe situ. Saat pulang, saya mampir ke musola dulu buat solat. Dan ternyata berpapasan dengan mereka. Mereka juga mau solat. Saya solat berbareng mereka. Selepas solat mereka pun berdoa. Berdoa seperti biasa.

Mungkin mereka telah yakin dan tahu betul. Karena Allah gak perlu suara untuk bisa mendengar doa dari hamba-Nya. Ia Maha Mendengar. Bahkan mendengar isi hati. Ia Maha Mengetahui, mengetahui yang kau butuhkan nanti.

*foto menyusul, mau minta dulu*

Tidak ada komentar:

 
Design by Muhammad Dimas Rahman Affandi | Bloggerized by campredodellaconcetta - samid namhar - @midsamid | Lampung-Jogjakarta-Indonesia