Minggu, 24 Maret 2013

Achmad Fadhillah Akrabi




Kalut. Penuh tanya. Kesal. Buncah benar fikiranku malam itu.
Buyar, meledak, pecah, hancur semua isi yang ada di dalam kepala.
Hanya bertanya, bertanya, bertanya dan terus bertanya, yang bisa dilakukan.
Mengapa kenapa, mengapa kenapa, mengapa kenapa, mengapa harus dia? Kenapa?
Pesan singkat dari seorang teman yang kubaca setelah maghrib adalah penyebab utama ini semua.


Kelas 3 SD saya memutuskan untuk pindah sekolah. Mungkin bukan sepenuhnya keinginan saya, mungkin orang tua saya. Saya pun lupa alasan utamanya. Sepertinya hanya karena ingin mencari sekolah yang lebih bagus kualitasnya, itu saja, tak ada penyebab yang lain. Kepindahan saya ini pun berjalan tanpa hambatan. Bahkan, pihak sekolah menerima saya dengan sangat baik. Buktinya, saya diurus langsung oleh kepala sekolahnya. Ya, hari itu juga saya resmi menjadi murid baru di sekolah ini, sekolah unggulan di kota ini, sekolah yang hampir dikenal oleh semua orang di daerah ini, SD Negeri 2 Teladan Rawa Laut.

Pagi itu tinggal Saya, Ayah saya, dan sang kepala sekolah yang masih berada di ruangan. Oh, ruang guru tepatnya. Meja-meja, kursi, dan segala barang di sana telah tersusun rapi, dan sepi, karena ternyata, jam belajar telah dimulai. Semua guru dan murid telah masuk ke dalam ruanganya masing-masing. Lapangan upacara kosong, kantin kosong, dan beberapa lorong kelas pun kosong. Nampaknya sekolah ini telah resmi memulai kegiatan belajar-mengajarnya.

Kami bertiga perlahan berjalan menuruni lorong-lorong kelas sekolah. Sambil berjalan, Ayah berbincang dengan kepala sekolah, saya lupa apa pembicaraan mereka. Mungkin bukan lupa, tapi memang tidak tahu karena memang sedari tadi saya tidak memperhatikan mereka. Saya memperhatikan segala bentuk sekolahan ini, sekolah yang jauh berbeda dengan sekolah saya yang dahulu. Beda sekali.

Sampailah kami di depan kelas. Kepala sekolah mengetuk pintu lalu membuka pintunya perlahan. Terdapat papan yang jelas terpampang yang ku perhatikan sejak kami di depan pintu. Papan itu bertuliskan “3D”. Ya, itu pasti nama kelas ini. Bukan guru yang kami lihat pertama saat pintu mulai terbuka, melainkan 3 anak yang sedang berdiri di depan kelas. Ke-tiga anak tersebut tidak hanya sedang berdiri, tapi mereka juga sedang memegangi kedua telinga mereka sambil mengangkat salah satu kaki mereka. Mereka sedang apa? Latihan menari kah? Atau latihan keseimbangan? Oh tidak, ternyata saya pernah kenal gaya mereka. Itu gaya murid yang sedang dihukum. Dengan senyum kecil, saya pandangi ke-tiga anak tersebut. Lama kelamaan saya tertawa melihat mereka.

Entah kenapa, mata saya tertuju pada seorang murid yang berdiri diujung, yang lebih jauh jaraknya dengan saya. Tinggi kami hampir sama, lebih tinggi dia sedikit. Dan kulitnya pun lebih putih. Tingkahnya aneh, tertawa tidak jelas sambil goyang sana goyang sini untuk menjaga keseimbangan. Sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan kedatangan murid baru seperti saya. Dia tidak peduli ada murid baru melihatnya dihukum di depan kelas. Dia tidak peduli. Sama sekali tidak. Dan ia pun melanjutkan tawa senangnya sambil tetap memegangi telinganya. Ohya, dia laki-laki, semua yang dihukum laki-laki,  tidak ada perempuan.

Begitu saja awal pertemuan kami, tidak ada yang istimewa. Mungkin istimewa baginya, karena kedatangan saya membuat dia, dan kedua temanya, selesai dihukum dan boleh kembali duduk ke bangkunya masing-masing. Setelah mengenalkan diri seadanya, kini saya resmi berada di kelas yang baru ini, bersama teman-teman baru yang belum pernah saya kenal sebelumnya.

Tidak percaya, sangat tidak percaya membaca pesan singkat yang dikirim teman saya dari Semarang itu. Sama sekali tidak percaya. Pasti ini bercanda. Pasti ini hanya main-main. Atau pasti ini salah kirim. Tapi masa iya hal seperti ini dibecandain? Itu sangat keterlaluan! Ah, ritme jantung mulai tak wajar, semakin cepat saja ia memompa darah, gemetar. Gemetar sudah mulai merasuki tangan dan kaki saya. Ah, ini tidak mungkin, ini tidak mungkin. Berulang kali saya mengumpat hal itu. Oke, untuk memastikan hal ini, saya putuskan untuk menelepon langsung teman saya itu. Saat itu juga.

Doni, nama teman saya yang berada di Semarang itu. Tahu benar saya model suaranya. Tapi tidak. Malam itu, suaranya berubah. Ini bukan suara Doni yang biasanya. Suaranya kali ini berat, sedikit serak, dan penuh kesal. Dengan nada marah, saya tanyakan kebenaran pesan singkat yang Ia kirimkan ke saya. Dan sialnya, iya membenarkanya. Itu bukan bercanda, itu bukan main-main apalagi salah kirim. Semua itu benar. Fadhillah telah meninggal. Demam berdarah adalah penyakit yang berhasil mengambil nyawa dari raganya.

Meledak. Buyar semua isi dalam kepala ini. Setetes air mata tak kusadari telah mengalir melewati ujung selah mata, turun melewati cekunganya, menabrak dinding batang hidung, lalu berbelok ke arah pipi, sebelum akhirnya hilang terusap punggung tangan. Walaupun begitu, saya tetap memelihara rasa tidak percaya ini. Ya, masih belum bisa percaya ini semua, saya masih percaya ini semua tidak mungkin, sambil berharap ini merupakan bagian dari mimpi. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari kamar ini, kamar Yudi, teman kampus saya di Jogjakarta. Tanpa pamit, saya berlari menuruni tangga, saya berlari melewati lorong, saya berlari dijalanan, benar-benar berlari. Saya berlari sambil menyeka air mata yang semakin lama semakin menjadi, berlari menuju tempat tinggal saya.

Bukan kamar tempat pertama yang saya tuju, melainkan atap di lantai dua. Saya terduduk disana, tidak melakukan apa-apa. Karena sebenarnya sedari tadi saya bingung ingin melakukan apa, apa yang harus saya lakukan. Saya hanya bisa bertanya bertanya dan terus bertanya tanpa bisa mendapat jawabanya. Sampai pada akhirnya neuron-neuron yang ada di dalam otak saya, mengajak saya mengingat kembali kejadian itu, sewaktu saya berkelahi denganya di kolam renang.

Satu tahun saya telah berada di sekolah ini. Tak ada yang berbeda kecuali tinggi badan beberapa anak dan saya yang telah menggunakan kacamata. Kacamata culun dengan tali yang diikatkan di kedua tangkai agar membentuk kalung untuk nantinya dikalungkan di leher agar tidak mudah hilang. Mungkin orang tua saya sudah tahu, saya memang mudah lupa. Tapi, saya tentu tidak lupa hari ini. Hari Kamis, ini saatnya jam olahraga. Saya senang sekali mata pelajaran ini, dan mungkin teman-teman laki yang lain juga menyukainya sama seperti saya. Dan hari ini kami akan berenang di kolam renang Pahoman yang tak jauh dari sekolahan kami. Wah senangnya saya kala itu.

Perjalanan 10 menit sungguh tak terasa. Melepas baju dan celana secepatnya, meletakanya semaunya, saya pun berlari menuju kolam renang itu dan hap! Melompat bak perenang-perenang professional, byur! Basah semua badan, senang sekali rasanya. Ohya, ada sesuatu yang saya lupakan. Sesuatu yang sudah saya tunggu saat-saat saya menggunakanya. Sengaja saya minta belikan barang ini, karena asik sekali rasanya saat saya meminjamnya dari teman saya. Ya, apalagi kalau bukan kacamata renang. Tapi kacamata renang saya ini berbeda. Bukanya mau sombong, tapi kacamata yang saya miliki ini sudah menggunakan teknologi walaupun sedikit. Bahkan mungkin sekarang kalian belum tahu kalau kacamata renang ada yang berupa kacamata minus. Ya, jadi kacamata yang saya miliki itu kacamata berminus satu setengah. Keren, bahkan kalau mampu, saya bisa menggunakanya untuk membaca buku di dalam air. Kacamatanya berwarna biru, ah keren sekali pastinya.

Kenal, tapi belum terlalu akrab. Anak laki-laki yang saya lihat dihukum berdiri di depan kelas, yang sering ketawa-ketawa tidak jelas itu terlihat mencoba mendekati saya. Sempat diawali dengan bercanda sedikit, ia meminjam kacamata milik saya. Oke, saya pinjami, dan ia terlihat bahagia sekali, lalu pergi berenang menyelam entah kemana. Sedangkan saya kembali asik berenang dengan teman-teman yang lain. Kebetulan saat itu memang acara bebas, karna sang guru sedang ada urusan lain sehingga akan datang terlambat. Wah ini momen pas sekali untuk bermain sepuas-puasnya.

Begini memang, kalau bermain saja, pasti waktu berjalan sangat cepat. Waktu telah habis, semua anak naik ke atas untuk segera bilas dan mengganti pakaian. Saya yang telah terlanjur naik ke atas kemudian teringat sesuatu. Ohya, kacamata! Lalu kembali lagi saya ke kolam renang untuk mencari anak itu. Wah, ternyata dia masih di dalam kolam bersama beberapa teman yang lain. Ketika ia mendekat, lalu saya menanyakan keberadaan kacamatanya. Kaget. Paras mukanya seketika berubah kaget. Ia sudah tak tahu menahu lagi soal kacamata. Ia berdalih kacamata itu sudah ia taruh di lantai pinggiran kolam renang tak lama ia meminjam. Tapi kenyataanya? Kacamata yang dimaksud tidak ada. Saya saat itu tidak mau tahu, pokoknya kacamata harus kembali lagi ke saya, entah bagaimana caranya. Ya, dia harus mencarinya. Tapi dia tetap pada pendirianya. Dia merasa benar karena merasa sudah menaruh kembali kacamata itu. Dia tidak mau mencari kacamata itu, dia tidak ingin tanggung jawab.

Karena tak ada solusi, akhirnya perkelahian pun terjadi. Tak jelas siapa yang memulainya. Satu dua pukulan, satu dua tendangan melayang bergantian. Tendanganya mengenai badan saya, tapi pukulan saya pun tak kalah mengenai wajahnya. Khas sekali perkelahian antar anak SD. Perkelahian ini berjalan cukup lama, karena teman-teman yang sebenarnya ramai, tak ada yang berani melerai kami. Mungkin bukan tidak berani, mungkin mereka malah senang melihat kami berkelahi. Tontonan gratis pikir mereka. Untung saja sang guru olahraga datang tepat pada waktunya. Guru berbadan besar itu cukup berteriak saja untuk melerai kami berkelahi. Kami takut dengan beliau. Kalau saja beliau mau, mungkin kami bisa tenggelam ditinju sampai dasar kolam renang. Tak ada yang terluka pun tak ada yang menangis. Segala keramaian usai, semua anak kembali ke sekolah, kecuali kami berdua.

Sang guru mencoba mendamaikan kami berdua. Dan ia bertanya sebab musabab semua ini. Dengan suara gemetar, saya dulu coba menjelaskan, lalu dia menambahkan. Ya, akhirnya kata sepakat dan damai tercapai. Dia akan mengganti rugi kacamataku yang hilang, tapi tidak utuh, hanya setengah harga. Keputusan yang sebenarnya tetap merugikan saya, tapi mau bagaimana lagi, sepertinya itu memang jalan yang paling adil. Hingga beberapa hari kemudian, Bapak dari anak itu datang ke sekolah dan menyerahkan uang ganti rugi kacamata itu kepada saya, uang yang terbungkus rapi di dalam amplop putih. Tak segera saya membuka amplop itu, tapi saya akan membukanya di rumah, di hadapan Ibu yang telah membelikan kacamata itu. Dan ternyata isi amplop itu benar uang. Ah, untung saja. Tapi kenapa rona wajah Ibu berubah saat melihat isi amplop itu? Langsung coba saya ikut melihat isi amplop itu. 30 ribu perak. Itu bukan setengah harga, itu seper enam. Kurang malah. Tapi Ibu tak menyuruhku untuk meinta uang kekuranganya, Ia menerimanya. Dan entah mengapa setelah kejadian itu, saya justru akrab denganya. Bersama beberapa teman yang lain, kemana-mana selalu bersama. Kantin, jajanan depan sekolah, arena main kelereng, sepakbola-botol-aqua, les tambahan wali kelas, ah macam-macam pokoknya. Ya, kita jadi satu gank. Seru sekali.

Telfon genggamku berdering. Ternyata dari Kiki, teman saya yang sekolah di Bandung. Suaranya juga berubah, hampir sama dengan mode suara Doni, tapi Kiki lebih terlihat terburu-buru. Benar saja, ternyata ia sedang berada di terminal Bandung. Ia ingin pulang ke Lampung. Dan ia mengajak saya untuk ikut pulang. Zing, seketika helaian rambut-rambut tipis di sekitar tangan dan leher berdiri. Benar saya harus pulang. Saya harus melihatnya untuk yang terakhir kali. Saya tutup dulu telfon genggam itu, mulai berfikir. Wah saya tidak mungkin pulang. Bila saya pulang, saya akan melewatkan beberapa praktikum, beberapa laporanya, beberapa tugas kuliah, dan beberapa acara organisasi. Sedangkan ini juga sudah malam. Sudah tidak ada lagi bus yang menuju ke Jakarta setahu saya. Satu-satunya yang tersisa hanya kereta, itu pun kalau tiketnya masih ada. Dan itu hanya tinggal sekitar 30 menit lagi. Harus saat ini juga. Ah, saya benci kondisi seperti ini. Bingung bukan main. Kalau seperti ini biasanya saya akan bertanya pada Ibu, tapi kali ini sepertinya tidak. Tidak tahu juga kenapa saya tidak ingin bertanya kepada beliau. Satu, dua, tiga menit berlalu, saya masih duduk terdiam di situ, di loteng itu.

Berlari saya menuruni tangga dan masuk ke dalam kamar. Menghempaskan tubuh ini ke atas kasur, berharap hilang semua ingatan ini, hilang semuanya. Kuremas bantal, kupukul kasur, ku jedutkan kepala ini berkali-kali di atasnya. Hingga saat itu saya belum bisa memutuskan. Tiba-tiba saja telfon genggam kembali bordering. Tulisan di layarnya, “mamake”. Kok bisa? Lama saya mengangkat panggilan itu, hingga tangan ini tiba-tiba bergerak dengan sendirinya menekan tombol hijau itu. Oh, Beliau hanya bertanya kabar seperti biasa, dan saya pun menjawab dengan biasa. Tapi tetap tidak bisa biasa saja, Ibu tetap merasa ada yang aneh dengan saya.
“Kamu kenapa le? Kamu…”
Kenapa bisa pas sekali. Saya heran dengan ini. Walaupun sudah sering saya heran seperti ini, tapi yang ini benar-benar heran. Kenapa bisa tau? Padahal saya sudah membuat suara dan gaya bicara se-normal mungkin. Kenapa masih terdengar aneh? Itu lah mamake, saya juga heran. Tapi tidak, saya tidak memberi tahu yang sebenarnya. Saya tidak ingin memberitahu apa yang telah terjadi dan bertanya tentang kebingungan ini. Saya hanya berkata tidak ada apa-apa hingga akhirnya satelit tak menerima lagi data suara yang dikirimkan dari mamake, sambungan telefon itu telah putus.

Suara kumandang Adzan Isya telah terdengar, saya memutuskan untuk segera mengganti seragam, mengambil air wudhu, dan mendatangi sumber suara itu. Saya memutuskan untuk tidak pulang ke Lampung. Saya percaya, doa akan sampai dimanapun kita berada. Doa tak butuh perantara. Doa tak butuh satelit. Dan kita tidak butuh melihat orang yang kita doakan terlebih dahulu untuk bisa doa kita sampai kepadanya. Saya yakini itu. Saya bergegas pergi ke Masjid Pogun Raya. Itu berarti saya tidak melihat sahabat saya itu, untuk yang terakhir kalinya.

Masjid mulai sepi, hanya tinggal beberapa orang saja. Sepertinya mereka pengurus masjid ini, ah biarkan saja. Saya tetap tak bergeming tak beranjak dari tempat duduk, hanya berdoa, kadang sedikit bertanya. Tanpa telefon genggam yang memang sengaja saya tinggal, sedikit menenangkan berada di dalam sini. Walau kadang tetap saja doa menjadi tak fokus, terpikir hal-hal yang telah berlalu. Tanpa disadari, ternyata saya telah sendiri di ruangan ini. Beberapa orang yang tadi telah berdiri di depan masjid, bersiap pergi. Sering kali saya lewat masjid di waktu-waktu seperti ini memang selalu sepi, lampu mati, masjid telah tertutup rapi. Saya jadi tidak enak kalau begini, jadi saya memutuskan untuk beranjak dan duduk di depan masjid, melanjutkan doa, melanjutkan tanya.

Semakin kalut saja perasaan saya di sini. Agak berbeda dengan di dalam. Sepi, hanya sinar lampu dan hembus angin malam yang menemani. Duduk, dengan tangan saling berpegangan untuk menahan kaki yang dilipat berdiri, sambil melamun, sambil bertanya. Kenapa harus dia? Kenapa harus dia? Kenapa harus dia? Kenapa harus Fadhillah? Dia salah satu sahabat terbaik yang saya punya ya Allah. Dia yang nomor satu, dan sekarang kau panggil untuk menghadapmu. Kenapa dia ya Allah? Kenapa? Lalu siapa lagi yang akan saya temui ketika saya pulang ke Lampung? Siapa lagi teman yang akan saya rindukan agar saya segera pulang? Siapa lagi teman yang merindukan saya untuk segera pulang? Siapa lagi orang yang selalu menghampiri rumah saya setiap hari ketika saya pulang? Siapa lagi yang mengajak saya bermain ketika saya pulang? Siapa lagi yang mengajak saya bersepeda menyusuri kota? Siapa lagi orang yang memuji rambut keriting saya? Siapa lagi yang menemani saya main PS sampai malam? Siapa lagi yang mau berbincang dengan saya tentang kehidupan sampai malam? Siapa lagi yang tahu tentang rahasia saya? Siapa lagi yang akan mendengar cerita saya? Siapa lagi teman yang selalu ada untuk saya? Siapa lagi? Siapa lagi? Siapa lagi ya Allah?

Hari ini adalah hari pengumuman penerimaan murid SMP yang baru. Saya dan orang tua datang langsung ke sekolah untuk melihatnya. Papan pengumuman diletakkan persis di tengah-tengah lapangan upacara bendera yang kecil, sangat kecil bila dibandingkan dengan lapangan SD saya dahulu. Papan kayu coklat, berdindingkan kaca, tempat mereka menempelkan lembaran kertas berisi pengumuman itu. Tak begitu ramai yang sedang melihat, saya meringsek lewat bawah. Ada satu nama yang saya kenal dan saya lihat pertama kali karena nama yang cukup panjang. Achmad Fadhillah Akrabi. Ya, ternyata dia masuk ke SMP ini. Bahkan di urutan yang lumayan bagus. Urutan yang akan menempatkan dia di kelas unggulan. Hebat sekali. Saya tak berhenti mencari nama saya dan akhirnya Ibu saya yang menemukanya pertama kali. Agak di ujung kanan bagian atas, dengan nilai yang tak sebaik teman saya tadi, cukup jauh bahkan. Tapi tak apa lah. Diterima di SMP terbaik di Lampung ini saja sudah merupakan kabar besar untuk saya. Alhamdulillah.

Hari pertama masuk sekolah tiba. Semua masih menggunakan seragam putih merah andalan, kecuali satu anak itu, si anak cengengesan itu, si Fadhillah. Dengan pede nya ia pakai seragam putih biru, sendirian. Terlihat keren sekali. Kami semua iri melihat seragam itu ia pakai. Kurang ajar memang itu anak, padahal belum ada perintah untuk memakai seragam itu. Begitulah memang dia, percaya diri, masa bodoh. Sayang kami tidak sekelas. Ia berada di kelas A, kelas unggulan, sedangkan saya di kelas E. Begitupun kelas 2, kami kurang banyak interaksi karna tidak sekelas. Di kelas 3 baru lah kami sekelas. Kelas 3B. Kelas “kondang” sebutanya. Itu pun dia yang membuat istilahnya. Jadi ada acara TV, kompetisi menyanyi dangdut yang bernama “Kondang In”. Dan karena kami, khususnya Tyok, salah satu anak bandel di kelas kami dan kebetulan sebangku dengan Fadhillah, sering kali nyanyi dangdut, akhirnya kelas itu diberi nama kelas “Kondang”. Memang sedikit kurang maksud, tapi kami semua senang dengan nama itu. Kelas Kondang, yeah.

Kelas kami sangat kompak. Paling kompak di antara kelas-kelas yang lain. Lebih kompak dari kelas-kelas saya terdahulu.  Siapa lagi aktornya kalau bukan dia. Tak ada hari tanpa tawa, tak ada hari tanpa canda, kecuali dia tidak hadir di kelas kami. Ah, tapi sepertinya tidak pernah, dia tidak pernah tidak masuk. Pernah sekali kelas gempar ketika ia berkelahi dengan Tyok teman sebangkunya itu. Mereka berkelahi ketika jumat pagi, ketika sedang membaca Al-Qur’an. Konyol sekali penyebabnya, pinjam meminjam Al-Quran. Saya marah kala itu, melerai mereka yang lebih mirip setan, berkelahi di saat yang lain sedang membaca Al-Quran. Tapi semua berlalu begitu cepat, seperti tidak ada apa-apa, berjalan normal kembali seperti biasa. Sore hari, hampir tiap hari, sepulang sekolah, ia beserta beberapa teman yang lain pasti mampir main di rumah saya. Hanya sekedar main PS atau hanya sekedar berkumpul. Tak ada bosan di dekatnya, selalu saja ada bahan yang dibuat bercanda, dibuat tertawa. Dimana ada dia, pasti suasana menjadi cair, pasti ceria, tidak ada gengsi, tidak ada ketegangan, tidak ada kecanggungan. Hidup serasa hidup. Seperti tak punya masalah bila didekatnya. Dia selalu punya cara untuk membuat tertawa. Lawakan-lawakan yang ia berikan juga tak ada yang menyakiti, tak ada yang mengejek, tapi itu lucu dan terus ia up-date. Dia selalu punya cara untuk mencairkan suasana. Luar biasa orang ini. Disenangi setiap orang, tak punya musuh, ataupun lawan, semuanya kawan. Orang ini langka. Teman saya ini langka. Senang berteman denganya.

SMA kami berbeda. Saya yang tidak diterima di SMA paling favorit di daerah, masuk ke SMA 9. Sedangkan ia yang memang memang memilih SMA 10 sejak awal berhasil diterima disana, sekolah yang lebih dekat dengan rumah Neneknya. Tapi berbedanya sekolah ini tidak merenggangkan kami. Rumah saya yang kebetulan juga dijadikan tempat berkumpul anak-anak SOS (Science One Syndicate, sebutan kelas saya di SMA) malah kedatangan teman baru. Ya, anak-anak SOS pun saya perkenalkan dengan Fadhillah. Hasilnya? Langsung akrab. Langsung nyambung. Bahkan sangat akrab. Tak butuh waktu lama untuk akrab dengan Fadhillah, siapa saja. Tak berbeda jauh dengan SMP, hampir setiap sore pula rumah saya menjadi persinggahan teman-teman. Senang rasanya. Tak jarang Fadhillah ikut bergabung bersama kami. Oh, sering malah, lebih sering dibandingkan dengan teman-teman di sekolahnya. Lama kelamaan, tanpa disadari, sepertinya kami telah memasuki hubungan persahabatan. Wakerz. Itu panggilan gank kami. Tak usah ditanya darimana asalnya, pasti orang itu lah yang memberinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Fadhillah. Wakerz berasal dari kata “WAK” yang artinya pelawak. Karena kami, tak lebih adalah sekumpulan pelawak. Walaupun kontribusi lawak paling besar hanya dari orang-orang tertentu, terutama dia sendiri. Jadi dengan diterbitkanya nama itu, semua anak di gank ini dipanggil dengan satu kata, “WAK”. Banyak sekali bertaburan kata “WAK” ketika obrolan tengah berlangsung. Entah “WAK” siapa yang dimaksud. “Wey WAK, WAK!”

Banyak sekali program kerja Wakerz. Dari rutin main PS bareng di rumah saya, menginap di sana menginap di sini, pernah sampai menginap di hotel, pantai ini pantai itu, futsal yang di sini futsal yang di situ, menjelajahi mall demi mall, menonton film di bioskop, foto-foto dimana-mana, ah banyak sekali, sulit rasanya untuk mengurainya satu per satu. Tak terasa 3 tahun berlalu, anggota Wakerz semua terpencar. Para laskar pelawak menjalani kehidupan barunya masing-masing.

Tiba-tiba saja ingatan saya tertuju pada satu wanita. Saya membayangkan bagaimana perasaan wanita itu sekarang. Puas? Atau menyesal setengah mati? Atau tak peduli? Dasar wanita tak punya hati! Kesal sekali saya membayangkan dirinya. Rasanya ingin teriak kencang persis di depan mukanya, muka wanita tak berperasaan. Ah, mungkin saya agak berlebihan. Tapi memang itu perspektif saya akan dirinya. Satu-satunya wanita yang buat Fadhillah jatuh cinta, untuk yang pertama kalinya, dan berarti untuk yang terakhir. Tanpa disadari tangan ini mengepal. Refleks otak menyuruhnya untuk meninju angin yang semakin dingin di depan masjid ini. Mencoba melepaskan kekesalan saya akan wanita itu. Nuv. Ya, Fadhillah sudah mengajarkan saya akan arti kesetiaan. Kesetiaan bahkan hingga akhir masa hidupnya. Kesetiaan yang penuh pengorbanan. Kesetiaan yang satu arah. Cinta sejati. Sejatinya cinta seperti ini.

Ada gambar wanita di layar depan telfon genggamnya. Spontan saya rebut Son-Er itu dari genggamanya. Lumayan asik, tomboy lebih tepatnya. Ah, tahu sekali memang seperti ini tipe wanitanya. Model-model penyanyi barat yang tomboy itu, salah satu yang ia gemari, Avril Lavigne. Rupanya pun agak mirip. Kualitas nomor 2 bisa dibilang. Ternyata mereka belum berhubungan, masih teman akunya. Tapi jelas sekali rona malu di wajahnya. Ah, senang sekali melihat sahabat saya seperti ini. Akhirnya bisa juga dia suka sama wanita, saya kira hanya bisa ngelawak saja. Terus didekatinya wanita itu, khusunya lewat pesan singkat. Khas sekali gaya-gaya anak SMA yang mulai mendekati wanita. Salut saya dengan caranya merebut hati wanita itu. Banyak sekali pengorbananya. Beberapa kali ia “nembak” wanita itu. Iya beberapa kali, dan hasilnya selalu ditolak. Tapi bukan Fadhillah kalau menyerah soal yang begini. Cintanya ya cuman satu, wanita itu aja, tidak akan dia pindah ke yang lain. Terus ia berusaha hingga pada akhirnya wanita itu menerima cintanya. Senang sekali ia memberitahukanya pada saya. Saya tak kalah senang mendengarnya. Lama berjalan nampaknya Fadhillah sudah terlewat batas. Ia benar-benar tergila-gila hingga melupakan urusan masa depanya.  Sempat saya beri tahu tapi tak begitu mempan sepertinya. Ya sudahlah.

Hingga suatu saat kabar itu datang. Hubunganya dengan wanitanya itu putus. Hancur sekali dia. Rambut yang kriwil berantakan sangat menggambarkan keadaanya. Lawakanya juga berkurang. Ah saya harus membantunya. Saya mencoba memberikan pesan lewat sosial media kepada wanitanya itu dan tak lama ia balas. Diawali basa-basi yang penting tidak penting, saya mulai masuk ke topik. Oh, ternyata dia tidak menyembunyikanya. Dia menjabarkan beberapa, kami berbincang di sana. Saya mencoba meyakinkan-nya. Tapi sepertinya ia kukuh pada pendirianya, walau sempat sedikit goyah. Ya sudahlah, saya sudah coba membantu dan saya pun telah menjelaskanya pada Fadhillah. Ah, dia masih keras kepala. Ia jatuh begitu dalam nampaknya. Tak ada yang bisa menariknya keluar. Terus saja ia berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan wanitanya kembali. Roti shereen dan jersey Liverpool yang saya ingat sekali. Sang wanita menerima pemberianya. Senang sekali wajahnya. Sangat sangat teramat sangat. Menyetir saja sambil senyum-senyum sendiri. Padahal tahu kah kau? Roti yang ia berikan hanya diletakkan di depan kost wanita itu. Wanita itu tak ingin bertemu langsung. Begitupun jersey Liverpool yang diberi. Tak pernah ia melihat wanitanya itu memakainya langsung. Tapi ia tetap saja senang. Oh, jahat sekali wanita ini. Apapun alasanya, hilang respect saya dengan wanita ini. Dia menyakiti sahabat saya. Saya tidak terima.

Dalam kesendirian ini saya mulai berfikir. Benar memang, cinta sesungguhnya itu satu arah. Setia sejatinya itu satu arah. Tak perduli ia kembali atau tidak. Fadhillah telah membuktikan hingga akhir hayatnya. Benar-benar ingin tahu saya apa perasaan wanita itu saat ini. Ah, sudahlah, percuma saja saya memikirkanya. Saya coba mengalihkanya kepada yang lain. Teringat satu nama yang ingin sekali saya temui sekarang. Bila saja ia hadir di sini, pasti sudah saya peluk saat itu juga. Menangis sejadi-jadinya. Edok. Begitu dia biasanya dipanggil. Tapi tidak dengan kita, saya dan Fadhillah. Kami lebih sering memanggilnya dengan “Code” plus aksen bahasa inggrisnya. ”Code” kebalikan dari edok, lalu di inggris-kan. Luar biasa, ada-ada saja. Tapi lagi-lagi kami menikmatinya. Ah ingin sekali Nigga lagi bersama mereka.

Minggu pagi telah tiba. Kepulangan saya ke kampung halaman ini tidak boleh melewatkan momen sehari pun. Sejak malam hari saya telah mengajak mereka, Edok dan Fadhillah untuk Nigga esok harinya. Apa itu Nigga? Lagi-lagi Fadhillah yang menyebut pertama kali istilah itu. Nigga itu aktifitas kita bertiga berjalan-jalan memperluas kekuasaan keliling kota dengan hanya berjalan kaki. Ya, jalan kaki! Dari satu mall ke mall yang lain cuman jalan kaki. Persis sekali orang-orang negro di film-film barat itu. Sambil berjalan dan berkata khas aksen orang negro, kita sebut ini, Nigga. Obrolan, canda, tawa, selalu menghiasi perjalanan kita. Sekedar mampir melihat buku di gramedia dan tak sengaja bertemu teman lain di sana, lanjut lagi ke artomoro (sekarang hypermart) lalu ke lantai atas lalu duduk di tempat tunggu bioskop sambil melihat dengan sengaja dari awal sampe akhir orang-orang yang lewat di depan kita, dilanjutkan lagi ke moka (mall kartini) untuk sekedar main tinju-tinjuan-yang-kalah-push-up atau makan eskrim McD karokean di karaoke box berisi tiga orang atau foto box bertiga menggunakan rambut kribo, saat lapar mampir dahulu ke rumah makan padang puti minang hingga kuah semua masakan yang dihidangkan habis, dan masih banyak yang lainya. Ah, selalu menyenangkan hari minggu saya bersama mereka. Tak ada tawa yang terpaksa, tak ada canda yang menyakiti, hanya ada rasa bahagia di hati. Mereka lah Sahabat Nigga.

Malam semakin dingin. Bulan semakin tinggi. Tak ada lagi seorang pun yang melewati halaman masjid ini sedari tadi. Ya, saya harus kembali. Saya mencoba menggerakkan seluruh raga ini untuk kembali. Berat rasanya. Saya tinggalkan sudut masjid yang akan selalu saya ingat itu. Lunglai ku berjalan menyusuri blok demi blok paping yang tersusun. Ada yang tenggelam, ada yang timbul, ada pula yang berlubang. Sesekali muncul sedikit aspal yang tak lagi hitam, kemudian kembali lagi blok paping yang saya injak. Satu gundukan semen saya langkahi, hampir saja saya tersandung karenanya. Warung 24 jam terbuka lebar di sisi kiri. Ada dua manusia yang sekedar duduk di kursinya sambil menyaksikan kotak bergambar. Sempat tertawa kecil, lalu kemudian meneguk air berwarna di dalam gelas di hadapanya. Ingin rasanya menjadi mereka saat ini juga. Pasti mereka sedang ringan. Ah, kulanjutkan perjalanan lelahku ini, tak tahu mengapa terasa lebih lama dari biasanya. Berjumpa dengan persimpangan, tapi jalanan sudah sepi. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar dari arah semak belukar belakang rumah di persimpangan jalan itu. Ingin rasanya jadi jangkrik saat ini juga, pasti ringan rasanya. Belok kiri persimpangan, kembali jalanan kosong. Ah, andai saja saat ini saya amnesia, mungkin saya tidak akan kembali ke tempat tinggal saya. Mungkin saya sudah pergi entah kemana. Kulanjutkan perjalanan pulang ini. Ah, tak ada yang menarik di jalanan ini. Atau mungkin saya yang sedang memikirkan hal yang lain hingga tak memperhatikan sekitar? Tak tahu lah. Hingga tiba ku di halaman parkir tempat tinggal ku. Berjejer kendaran beroda dua sedang berdiri rapi di sana. Ada sekitar 6 sampai 7 motor. Ingin sekali ku tendang hingga rubuh semua mereka, jatuh, hancur, biarkan saja. Tapi saya mengurungkan niat itu, ternyata di ujung ada kendaraan milik saya juga. Masuk saya melewati pintu belakang, melewati lorong kamar yang gelap, membuka pintu kamar yang tak terkunci, menutupnya kembali dengan perlahan. Saya jatuhkan badan ini tepat di atas kasur dan bantal di arah wajah. Saya biarkan gaya gravitasi yang ada membantu badan ini terhempas. Lalu saya paksakan mata ini untuk terpejam. Ketika mata ini terbuka kembali, saya melihat satu cahaya di dekat wajah ini. Cahaya dari telefon genggam ternyata. Coba saya raih dan saya lihat. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari mereka, Ruth dan Adit, teman kelas SMA yang juga sekolah di Jogjakarta. Saya balas pesan singkat seadanya, lalu melanjutkan usaha untuk memejamkan mata, memasuki dunia yang lain.

Pagi menjelang. Subuh sedikit terlambat. Pasti efek tidur yang telat semalaman. Saya lanjutkan berbaring, tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Saya hanya melamun. Rasanya akan seharian saya seperti ini. Rasanya malas ingin bangun dari tempat ini. Rasanya malas ingin keluar dari ruangan ini. Mencoba menyentuh barang-barang yang sebenarnya tak berarti apa-apa. Menggoresi kaki meja, mengusap-usap sprei, meremas-remas bantal, dan beberapa hal bodoh lainnya.  Ketika tangan sedang menggaruki karpet biru itu, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu kamar yang sebenarnya tidak tertutup, terbuka sedikit. Kaget saya melihat mereka berdua. Kapan datangnya? Kenapa tidak terdengar? Mereka berdua adalah Adit dan Ruth yang semalam menelepon. Ah, kenapa mereka datang? Mereka mau apa? Cepat-cepat saya menghapus sisa air mata di sekitar pipi. Mencoba bertingkah laku seperti biasa. Ah, ternyata saya tidak bisa merekayasanya. Tetap saja mengalir, justru lebih parah. Air wajah mereka yang justru membuat parah. Ruth terutama.

Tak banyak kata yang keluar dari lisan mereka. Saya pun hanya diam. Ingin rasanya menyampaikan sesuatu kepada mereka. Pesan yang harus saya sampaikan kepada sahabat-sahabat juga seperti mereka. Lidah ini tertahan, namun pada akhirnya saya katakan.
“Makanya ya Dit, Ruth, kalo kalian lagi ada masalah, atau lagi sakit, atau apa lah,  jangan diem aja. Kasih tau gw lah, atau temen yang lain. Bukan apa-apa, siapa tau kan kita bisa bantu. Walopun gak begitu berguna, tapi paling enggak kan bisa  bikin elo gak sendirian lah ngadepinya. Ya?”
Adit pulang. Ruth tetap tinggal. Entah apa yang ingin ia lakukan dengan komputer lipat itu, saya tetap saja berdiam melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak jelas. Tiba-tiba ia memanggil saya. Ia menunjuk kea rah computer lipat itu dan menawarkan saya untuk melihat sesi pemakaman lewat video streaming dari teman saya yang sedang ada di sana. Melihat untuk terakhir kalinya. Ah, gila. Saya masih belum bisa. Masih belum kuat untuk melihatnya. Saya tolak tawaranya itu, kembali menelungkupkan badan.  Entah hingga kapan. Tawaranya yang kedua dilontarkan. Kali ini untuk makan. Tidak, saya juga menolaknya. Tapi tetap saja ia memaksa. Hingga akhirnya saya menyerah, dan kali ini mengikuti tawaranya. Warung terdekat menjadi tempat kami makan. Saya tak tahu, mungkin bisa saja hingga esok saya tidak akan menelan sebutir nasi pun bila saja ia tidak mengajak saya untuk makan. Bahkan hingga beberapa hari selanjutnya, ia kerap menemani saya untuk makan. Membantu saya untuk tetap hidup. Terimakasih Ruth.

Hari ini, sudah setahun lebih engkau meninggalkanku.  Tahukah kau? Aku sungguh rindu kepadamu kawan. Aku rindu segala tingkahmu. Aku rindu, rindu sekali.  Aku rindu..

Aku rindu caramu memanggilku…
 “Pek”
Khas sekali suaramu. Itu sebutan yang kau buat untuk ku, dan juga dipakai beberapa teman lain. Sixpack. Itu awal mulanya. Hingga kau akhirnya menyingkatnya dengan “Pack”. Tahukah kau? Sebenarnya aku senang kau panggil seperti itu, walau terkadang terlihat seperti kesal, padahal tidak, tidak sama sekali. Aku ingin kau panggil seperti itu lagi. Ayo panggil dil.. Aku ingin dengar lagi nada khas suaramu. Aku rindu caramu memanggilku itu..

Aku rindu berada di dekatmu..
Mendengar lawakanmu.
Tahukah kau? Hanya saat di dekatmu aku selalu tersenyum, selalu tertawa. Hanya di dekatmu yang bisa membuatku bisa ikut melawak. Lawakanmu dapat membuat semua orang tertawa. Tidak menyakiti, tidak pula pula mencela. Suasana apa pun saat di dekatmu pasti jadi lucu. Ah, aku rindu berada di dekatmu..

Aku rindu rambutku kau pegang..
“Rambut lo kok bagus sih pek?”
Ah, tahukah kau? Senang sekali rasanya mendengar tanyamu itu. Walau aku hanya berpura bertingkah biasa, tapi sebenarnya aku suka. Tak ada yang pernah menyukai rambutku, bahkan aku sendiri. Caramu melinting rambutku, yang sebenarnya mirip rambutmu, rindu sekali aku saat-saat itu..

Aku rindu rumahku kau hampiri..
Setiap hari.
Setiap aku pulang, hampir tak ada satu hari pun aku tidak melihatmu. Kau selalu menghampiri rumahku walau kita hanya sekedar bercanda biasa. Tahukah kau? Saat berbincang denganmu hingga malam itu adalah saat-saat yang tak akan pernah ku lupa. Oh kapan lagi rumahku kau hampiri, aku rindu..

Aku rindu bersepeda denganmu..
Hingga ke pusat kota.
Kau senang sekali dengan sepeda barumu. Dan Ayah ku pun kebetulan baru membeli sepeda baru. Pas sekali. Kau datang dengan membawa sepeda, khas sekali dengan tas punggung yang selalu kau bawa itu. Tahukah kau? Tak pernahnya aku sesenang itu bersepeda, bagai di surga. Rindu..

Aku rindu mendengar bacaan solatmu yang sangat cepat itu, aku rindu mendengar kesalmu ketika sedang berbicara dengan ibumu di telfon, aku rindu mendengar suara ringtone itu, aku rindu mendengar suara cemprengmu, aku rindu, aku rindu, aku rindu…

Tak akan ada yang bisa merupaimu. Tak akan ada yang yang bisa menggantikanmu. Kau satu idolaku. Kau yang telah mengajarkanku banyak hal..

Teguhlah pada pendirianmu, pertahankanlah itu, bila memang kau yakini itu benar, seperti sikapmu pada kacamata ku yang hilang.
Percaya saja dengan diri sendiri, biarkan saja orang bilang apa, tak usah kau dengar yang tidak baik, bila memang yang kau lakukan itu benar.
Bila melakukan kesalahan, atau tindakan bodoh yang memalukan, jangan pernah malu, karena kau akan mendapati 2 malu. Satu, malu untuk tindakan bodohmu. Dua, malu untuk malu mu itu sendiri. Seperti yang kau bilang saat kau terpeleset di depan khalayak ramai.
Jangan tunjukkan sedihmu di depan orang-orang, tetaplah ceria, tetaplah tertawa, apapun kondisimu, karena orang lain tak ingin melihatmu bersedih, begitulah tingkah lakumu.
Hilangkanlah gengsi. Gengsi hanya akan membuatmu tersiksa. Itu yang kau bilang saat hendak mengambil makanan pada sebuah pesta ulang tahun.
Kesetiaan. Kau benar-benar mengajariku akan hal itu. Tak perlu risau tak terbalas, karena sejatinya kesetiaan itu satu arah, lakukan saja, nikmati indahnya. Seperti yang kau lakukan pada gadismu.
Buatlah suasana di sekelilingmu ceria, hilangkan ketegangan, buat mereka tertawa, tersenyumlah. Mungkin ini tingkahmu yang tak akan mungkin bisa ku saingi. Cuman kau yang bisa.

Benar, tak akan ada yang bisa menyerupaimu. Tak akan ada yang bisa menggantikanmu. Walau sudah coba ku cari, namun hingga kini pun tak pernahnya ku temukan. Kau idolaku nomor satu. Tak perlu kau ragu, hingga selamanya akan ku ingat dirimu. Tak akan pernah ku lupakan. Bahkan tahukah kau? Kau telah masuk di jajaran doa ku setelah solat. Hebat sekali kau, bisa bergabung bersama Ibu, Ayah, dan Kakak-kakak ku. Selamat! Bahkan aku pun tak menyangka kau bisa selalu hadir dalam setiap doa di sujudku. Tenang saja kawan, akan kupertahankan itu. Karena, apa lagi yang bisa ku perbuat untukmu selain mendoakanmu kan? Sudah, kau tunggu saja aku disana. Siapkan dulu sepedamu. Tapi kau benahi dulu itu standard sepedamu, agar nanti bila ku datang, aku tak perlu lagi menunggumu membenahinya. Ohya, jangan lupa tas punggungmu, agar ku bisa menitipkan telfon genggamku di dalamnya. Kau cari tahu dulu kemana kita akan bersepeda. Di sana banyak tempat yang bagus bukan? Nanti ku bawa kameraku, berfoto ria kita di sana. Jangan lupa up-date dulu lawakanmu. Aku tak mau mendengar lawakan yang sama lagi. Aku mau yang baru, kan kita sudah lama tidak bertemu. Oke oke? Tunggu aku di sana ya, jangan dulu kau bermain dengan yang lain, nanti bisa sedih aku. Oke? Selamat berjumpa..


~ Harus menunggu setahun aku baru bisa menuliskan ini. Tak kuat aku. Bahkan melihat fotomu aku masih belum sanggup sebelum ini. Sebelum aku benar-benar sadar, ternyata kau di sana bertemu dengan Allah. Dia lah yang memanggilmu, jadi kenapa aku harus sedih kan? Harusnya aku senang. Kau dirindukan oleh-Nya. Orang sebaikmu. Ah pantas lah itu. Ya walau ketika menulis ini tetap saja aku menangis, tapi tenang kawan, hanya sedikit saja kok, wajar kan? Hehe. Oke, terimakasih kawan kau telah hadir di dalam hidupku, menghiasinya dengan segala tingkahmu. Mewarnainya dengan warnamu sendiri. Sungguh beruntung aku pernah mengenalmu. Beruntung sekali aku bisa menjadi temanmu. Ya, beruntung sekali. Sahabat terbaik, sahabat sesungguhnya, role model sahabat di dunia ini, Achmad Fadhillah Akrabi. Semoga kau tak keberatan ya kisah ini aku tuliskan. Aku kan pelupa dil, jadi ini sebagai media pengingatku, oke dil? Oke Wak? Wey Wak Wak!




~Terimakasih juga buat teman-teman yang lain yang juga ikut saya masukkan namanya di tulisan ini. Semoga saja tidak keberatan ya :)




13 komentar:

  1. Ah bisa juga akhirnya gw ngerti penuh postingan lo dalam sekali baca mid.. (biasanya kalo postingan sebelum2nya mesti baca2 ulang kalimat2nya hahah). Thank you mid, buat jadi perantara gw bisa kenal Fadil, gw ga bakalan lupa sama karakternya yang dia punya.

    Terakhir ketemu Fadil pas kita sibuk bikin short-film di rumah gw, sorenya dia dateng sama kiwak, malemnya gw pulang ke Depok. Bener2 akhir pertemuan yang berakhir di akhir yang memungkinkan :')

    So long Fadil

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip! btw, maksudnya "akhir pertemuan yang berakhir di akhir yang memungkinkan" apa rip? gak nyampe nih saya punya akal :D

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Baca tulisan lo ini bikin gw diliatin orang2 satu ruangan karena sesengukan di depan laptop hehe. Ah lo berdua beruntung deh punya satu sama lain sebagai sahabat walaupun sekarang udah beda dunia tapi tetep bisa sahabatan :)

    BalasHapus
  4. terakhir ketemu fadhil ya pas jenguk di rumah sakit pas gue sakit, beruntung dim punya persahabatan seperti ini

    dia orang baik, berhak berada ditempat yang baik disana, amin

    BalasHapus
  5. pek sukses bener lo bikin gue nangis di kampus, ibarat abis nonton drama korea sehingga mata merah dan berair gini, Hadeeehhh !!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dipoto gak wak? pengen liat gw gimana elo nangis, huehehe

      Hapus
  6. aaahhhh, banjir nih dim bacanyaaaa :') iya dim tenang aja, fadhil pasti tempatnya baik disanaaa. :) pasti semua doa ngalir dari orang2 yang kenal dia. siapa lagi orang yang bisa bikin ketawa bahkan dihari pertama kenalan. :') lo beruntung punya sahabat seluarbiasa dia dim. dan dia juga pasti ngerasa beruntung punya temen yang sayang banget sama dia kayak elo. :')

    BalasHapus
  7. Buka fb nya Fadhil tadi, liat postingan lo. mampet idung gw mas..

    BalasHapus

 
Design by Muhammad Dimas Rahman Affandi | Bloggerized by campredodellaconcetta - samid namhar - @midsamid | Lampung-Jogjakarta-Indonesia