Kalut. Penuh tanya.
Kesal. Buncah benar fikiranku malam itu.
Buyar, meledak, pecah,
hancur semua isi yang ada di dalam kepala.
Hanya bertanya,
bertanya, bertanya dan terus bertanya, yang bisa dilakukan.
Mengapa kenapa,
mengapa kenapa, mengapa kenapa, mengapa harus dia? Kenapa?
Pesan singkat dari
seorang teman yang kubaca setelah maghrib adalah penyebab utama ini semua.
Kelas 3 SD saya memutuskan untuk pindah sekolah. Mungkin
bukan sepenuhnya keinginan saya, mungkin orang tua saya. Saya pun lupa alasan
utamanya. Sepertinya hanya karena ingin mencari sekolah yang lebih bagus
kualitasnya, itu saja, tak ada penyebab yang lain. Kepindahan saya ini pun
berjalan tanpa hambatan. Bahkan, pihak sekolah menerima saya dengan sangat
baik. Buktinya, saya diurus langsung oleh kepala sekolahnya. Ya, hari itu juga
saya resmi menjadi murid baru di sekolah ini, sekolah unggulan di kota ini,
sekolah yang hampir dikenal oleh semua orang di daerah ini, SD Negeri 2 Teladan
Rawa Laut.
Pagi itu tinggal Saya, Ayah saya, dan sang kepala sekolah
yang masih berada di ruangan. Oh, ruang guru tepatnya. Meja-meja, kursi, dan
segala barang di sana telah tersusun rapi, dan sepi, karena ternyata, jam
belajar telah dimulai. Semua guru dan murid telah masuk ke dalam ruanganya
masing-masing. Lapangan upacara kosong, kantin kosong, dan beberapa lorong
kelas pun kosong. Nampaknya sekolah ini telah resmi memulai kegiatan
belajar-mengajarnya.
Kami bertiga perlahan berjalan menuruni lorong-lorong kelas sekolah. Sambil
berjalan, Ayah berbincang dengan kepala sekolah, saya lupa apa pembicaraan
mereka. Mungkin bukan lupa, tapi memang tidak tahu karena memang sedari tadi
saya tidak memperhatikan mereka. Saya memperhatikan segala bentuk sekolahan
ini, sekolah yang jauh berbeda dengan sekolah saya yang dahulu. Beda sekali.
Sampailah kami di depan kelas. Kepala sekolah mengetuk pintu
lalu membuka pintunya perlahan. Terdapat papan yang jelas terpampang yang ku
perhatikan sejak kami di depan pintu. Papan itu bertuliskan “3D”. Ya, itu pasti
nama kelas ini. Bukan guru yang kami lihat pertama saat pintu mulai terbuka,
melainkan 3 anak yang sedang berdiri di depan kelas. Ke-tiga anak tersebut
tidak hanya sedang berdiri, tapi mereka juga sedang memegangi kedua telinga
mereka sambil mengangkat salah satu kaki mereka. Mereka sedang apa? Latihan
menari kah? Atau latihan keseimbangan? Oh tidak, ternyata saya pernah kenal
gaya mereka. Itu gaya murid yang sedang dihukum. Dengan senyum kecil, saya
pandangi ke-tiga anak tersebut. Lama kelamaan saya tertawa melihat mereka.
Entah kenapa, mata saya tertuju pada seorang murid yang
berdiri diujung, yang lebih jauh jaraknya dengan saya. Tinggi kami hampir sama,
lebih tinggi dia sedikit. Dan kulitnya pun lebih putih. Tingkahnya aneh,
tertawa tidak jelas sambil goyang sana goyang sini untuk menjaga keseimbangan.
Sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan kedatangan murid baru seperti saya.
Dia tidak peduli ada murid baru melihatnya dihukum di depan kelas. Dia tidak
peduli. Sama sekali tidak. Dan ia pun melanjutkan tawa senangnya sambil tetap
memegangi telinganya. Ohya, dia laki-laki, semua yang dihukum laki-laki, tidak ada perempuan.
Begitu saja awal pertemuan kami, tidak ada yang istimewa.
Mungkin istimewa baginya, karena kedatangan saya membuat dia, dan kedua
temanya, selesai dihukum dan boleh kembali duduk ke bangkunya masing-masing. Setelah
mengenalkan diri seadanya, kini saya resmi berada di kelas yang baru ini, bersama
teman-teman baru yang belum pernah saya kenal sebelumnya.
Tidak percaya, sangat tidak percaya membaca pesan singkat
yang dikirim teman saya dari Semarang itu. Sama sekali tidak percaya. Pasti ini
bercanda. Pasti ini hanya main-main. Atau pasti ini salah kirim. Tapi masa iya
hal seperti ini dibecandain? Itu sangat keterlaluan! Ah, ritme jantung mulai
tak wajar, semakin cepat saja ia memompa darah, gemetar. Gemetar sudah mulai
merasuki tangan dan kaki saya. Ah, ini tidak mungkin, ini tidak mungkin.
Berulang kali saya mengumpat hal itu. Oke, untuk memastikan hal ini, saya
putuskan untuk menelepon langsung teman saya itu. Saat itu juga.
Doni, nama teman saya yang berada di Semarang itu. Tahu
benar saya model suaranya. Tapi tidak. Malam itu, suaranya berubah. Ini bukan suara
Doni yang biasanya. Suaranya kali ini berat, sedikit serak, dan penuh kesal. Dengan
nada marah, saya tanyakan kebenaran pesan singkat yang Ia kirimkan ke saya. Dan
sialnya, iya membenarkanya. Itu bukan bercanda, itu bukan main-main apalagi
salah kirim. Semua itu benar. Fadhillah telah meninggal. Demam berdarah adalah
penyakit yang berhasil mengambil nyawa dari raganya.
Meledak. Buyar semua isi dalam kepala ini. Setetes air mata
tak kusadari telah mengalir melewati ujung selah mata, turun melewati
cekunganya, menabrak dinding batang hidung, lalu berbelok ke arah pipi, sebelum
akhirnya hilang terusap punggung tangan. Walaupun begitu, saya tetap memelihara
rasa tidak percaya ini. Ya, masih belum bisa percaya ini semua, saya masih
percaya ini semua tidak mungkin, sambil berharap ini merupakan bagian dari
mimpi. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari kamar ini, kamar Yudi, teman
kampus saya di Jogjakarta. Tanpa pamit, saya berlari menuruni tangga, saya
berlari melewati lorong, saya berlari dijalanan, benar-benar berlari. Saya
berlari sambil menyeka air mata yang semakin lama semakin menjadi, berlari
menuju tempat tinggal saya.
Bukan kamar tempat pertama yang saya tuju, melainkan atap di
lantai dua. Saya terduduk disana, tidak melakukan apa-apa. Karena sebenarnya
sedari tadi saya bingung ingin melakukan apa, apa yang harus saya lakukan. Saya
hanya bisa bertanya bertanya dan terus bertanya tanpa bisa mendapat jawabanya.
Sampai pada akhirnya neuron-neuron yang ada di dalam otak saya, mengajak saya mengingat
kembali kejadian itu, sewaktu saya berkelahi denganya di kolam renang.
Satu tahun saya telah berada di sekolah ini. Tak ada yang
berbeda kecuali tinggi badan beberapa anak dan saya yang telah menggunakan
kacamata. Kacamata culun dengan tali yang diikatkan di kedua tangkai agar
membentuk kalung untuk nantinya dikalungkan di leher agar tidak mudah hilang.
Mungkin orang tua saya sudah tahu, saya memang mudah lupa. Tapi, saya tentu
tidak lupa hari ini. Hari Kamis, ini saatnya jam olahraga. Saya senang sekali
mata pelajaran ini, dan mungkin teman-teman laki yang lain juga menyukainya
sama seperti saya. Dan hari ini kami akan berenang di kolam renang Pahoman yang
tak jauh dari sekolahan kami. Wah senangnya saya kala itu.
Perjalanan 10 menit sungguh tak terasa. Melepas baju dan
celana secepatnya, meletakanya semaunya, saya pun berlari menuju kolam renang
itu dan hap! Melompat bak perenang-perenang professional, byur! Basah semua
badan, senang sekali rasanya. Ohya, ada sesuatu yang saya lupakan. Sesuatu yang
sudah saya tunggu saat-saat saya menggunakanya. Sengaja saya minta belikan
barang ini, karena asik sekali rasanya saat saya meminjamnya dari teman saya.
Ya, apalagi kalau bukan kacamata renang. Tapi kacamata renang saya ini berbeda.
Bukanya mau sombong, tapi kacamata yang saya miliki ini sudah menggunakan
teknologi walaupun sedikit. Bahkan mungkin sekarang kalian belum tahu kalau
kacamata renang ada yang berupa kacamata minus. Ya, jadi kacamata yang saya
miliki itu kacamata berminus satu setengah. Keren, bahkan kalau mampu, saya
bisa menggunakanya untuk membaca buku di dalam air. Kacamatanya berwarna biru,
ah keren sekali pastinya.
Kenal, tapi belum terlalu akrab. Anak laki-laki yang saya
lihat dihukum berdiri di depan kelas, yang sering ketawa-ketawa tidak jelas itu
terlihat mencoba mendekati saya. Sempat diawali dengan bercanda sedikit, ia
meminjam kacamata milik saya. Oke, saya pinjami, dan ia terlihat bahagia
sekali, lalu pergi berenang menyelam entah kemana. Sedangkan saya kembali asik
berenang dengan teman-teman yang lain. Kebetulan saat itu memang acara bebas,
karna sang guru sedang ada urusan lain sehingga akan datang terlambat. Wah ini
momen pas sekali untuk bermain sepuas-puasnya.
Begini memang, kalau bermain saja, pasti waktu berjalan
sangat cepat. Waktu telah habis, semua anak naik ke atas untuk segera bilas dan
mengganti pakaian. Saya yang telah terlanjur naik ke atas kemudian teringat
sesuatu. Ohya, kacamata! Lalu kembali lagi saya ke kolam renang untuk mencari
anak itu. Wah, ternyata dia masih di dalam kolam bersama beberapa teman yang
lain. Ketika ia mendekat, lalu saya menanyakan keberadaan kacamatanya. Kaget.
Paras mukanya seketika berubah kaget. Ia sudah tak tahu menahu lagi soal
kacamata. Ia berdalih kacamata itu sudah ia taruh di lantai pinggiran kolam
renang tak lama ia meminjam. Tapi kenyataanya? Kacamata yang dimaksud tidak
ada. Saya saat itu tidak mau tahu, pokoknya kacamata harus kembali lagi ke
saya, entah bagaimana caranya. Ya, dia harus mencarinya. Tapi dia tetap pada
pendirianya. Dia merasa benar karena merasa sudah menaruh kembali kacamata itu.
Dia tidak mau mencari kacamata itu, dia tidak ingin tanggung jawab.
Karena tak ada solusi, akhirnya perkelahian pun terjadi. Tak
jelas siapa yang memulainya. Satu dua pukulan, satu dua tendangan melayang
bergantian. Tendanganya mengenai badan saya, tapi pukulan saya pun tak kalah
mengenai wajahnya. Khas sekali perkelahian antar anak SD. Perkelahian ini
berjalan cukup lama, karena teman-teman yang sebenarnya ramai, tak ada yang
berani melerai kami. Mungkin bukan tidak berani, mungkin mereka malah senang
melihat kami berkelahi. Tontonan gratis pikir mereka. Untung saja sang guru
olahraga datang tepat pada waktunya. Guru berbadan besar itu cukup berteriak
saja untuk melerai kami berkelahi. Kami takut dengan beliau. Kalau saja beliau
mau, mungkin kami bisa tenggelam ditinju sampai dasar kolam renang. Tak ada
yang terluka pun tak ada yang menangis. Segala keramaian usai, semua anak
kembali ke sekolah, kecuali kami berdua.
Sang guru mencoba mendamaikan kami berdua. Dan ia bertanya
sebab musabab semua ini. Dengan suara gemetar, saya dulu coba menjelaskan, lalu
dia menambahkan. Ya, akhirnya kata sepakat dan damai tercapai. Dia akan
mengganti rugi kacamataku yang hilang, tapi tidak utuh, hanya setengah harga.
Keputusan yang sebenarnya tetap merugikan saya, tapi mau bagaimana lagi,
sepertinya itu memang jalan yang paling adil. Hingga beberapa hari kemudian,
Bapak dari anak itu datang ke sekolah dan menyerahkan uang ganti rugi kacamata
itu kepada saya, uang yang terbungkus rapi di dalam amplop putih. Tak segera
saya membuka amplop itu, tapi saya akan membukanya di rumah, di hadapan Ibu
yang telah membelikan kacamata itu. Dan ternyata isi amplop itu benar uang. Ah,
untung saja. Tapi kenapa rona wajah Ibu berubah saat melihat isi amplop itu?
Langsung coba saya ikut melihat isi amplop itu. 30 ribu perak. Itu bukan
setengah harga, itu seper enam. Kurang malah. Tapi Ibu tak menyuruhku untuk
meinta uang kekuranganya, Ia menerimanya. Dan entah mengapa setelah kejadian
itu, saya justru akrab denganya. Bersama beberapa teman yang lain, kemana-mana
selalu bersama. Kantin, jajanan depan sekolah, arena main kelereng,
sepakbola-botol-aqua, les tambahan wali kelas, ah macam-macam pokoknya. Ya,
kita jadi satu gank. Seru sekali.
Telfon genggamku berdering. Ternyata dari Kiki, teman saya
yang sekolah di Bandung. Suaranya juga berubah, hampir sama dengan mode suara
Doni, tapi Kiki lebih terlihat terburu-buru. Benar saja, ternyata ia sedang
berada di terminal Bandung. Ia ingin pulang ke Lampung. Dan ia mengajak saya
untuk ikut pulang. Zing, seketika helaian rambut-rambut tipis di sekitar tangan
dan leher berdiri. Benar saya harus pulang. Saya harus melihatnya untuk yang
terakhir kali. Saya tutup dulu telfon genggam itu, mulai berfikir. Wah saya
tidak mungkin pulang. Bila saya pulang, saya akan melewatkan beberapa
praktikum, beberapa laporanya, beberapa tugas kuliah, dan beberapa acara
organisasi. Sedangkan ini juga sudah malam. Sudah tidak ada lagi bus yang
menuju ke Jakarta setahu saya. Satu-satunya yang tersisa hanya kereta, itu pun
kalau tiketnya masih ada. Dan itu hanya tinggal sekitar 30 menit lagi. Harus
saat ini juga. Ah, saya benci kondisi seperti ini. Bingung bukan main. Kalau
seperti ini biasanya saya akan bertanya pada Ibu, tapi kali ini sepertinya
tidak. Tidak tahu juga kenapa saya tidak ingin bertanya kepada beliau. Satu,
dua, tiga menit berlalu, saya masih duduk terdiam di situ, di loteng itu.
Berlari saya menuruni tangga dan masuk ke dalam kamar.
Menghempaskan tubuh ini ke atas kasur, berharap hilang semua ingatan ini,
hilang semuanya. Kuremas bantal, kupukul kasur, ku jedutkan kepala ini
berkali-kali di atasnya. Hingga saat itu saya belum bisa memutuskan. Tiba-tiba
saja telfon genggam kembali bordering. Tulisan di layarnya, “mamake”. Kok bisa?
Lama saya mengangkat panggilan itu, hingga tangan ini tiba-tiba bergerak dengan
sendirinya menekan tombol hijau itu. Oh, Beliau hanya bertanya kabar seperti
biasa, dan saya pun menjawab dengan biasa. Tapi tetap tidak bisa biasa saja,
Ibu tetap merasa ada yang aneh dengan saya.
“Kamu kenapa le? Kamu…”
Kenapa bisa pas sekali. Saya heran dengan ini. Walaupun
sudah sering saya heran seperti ini, tapi yang ini benar-benar heran. Kenapa
bisa tau? Padahal saya sudah membuat suara dan gaya bicara se-normal mungkin.
Kenapa masih terdengar aneh? Itu lah mamake, saya juga heran. Tapi tidak, saya
tidak memberi tahu yang sebenarnya. Saya tidak ingin memberitahu apa yang telah
terjadi dan bertanya tentang kebingungan ini. Saya hanya berkata tidak ada
apa-apa hingga akhirnya satelit tak menerima lagi data suara yang dikirimkan
dari mamake, sambungan telefon itu telah putus.
Suara kumandang Adzan Isya telah terdengar, saya memutuskan
untuk segera mengganti seragam, mengambil air wudhu, dan mendatangi sumber
suara itu. Saya memutuskan untuk tidak pulang ke Lampung. Saya percaya, doa
akan sampai dimanapun kita berada. Doa tak butuh perantara. Doa tak butuh
satelit. Dan kita tidak butuh melihat orang yang kita doakan terlebih dahulu
untuk bisa doa kita sampai kepadanya. Saya yakini itu. Saya bergegas pergi ke
Masjid Pogun Raya. Itu berarti saya tidak melihat sahabat saya itu, untuk yang
terakhir kalinya.
Masjid mulai sepi, hanya tinggal beberapa orang saja.
Sepertinya mereka pengurus masjid ini, ah biarkan saja. Saya tetap tak
bergeming tak beranjak dari tempat duduk, hanya berdoa, kadang sedikit
bertanya. Tanpa telefon genggam yang memang sengaja saya tinggal, sedikit
menenangkan berada di dalam sini. Walau kadang tetap saja doa menjadi tak fokus,
terpikir hal-hal yang telah berlalu. Tanpa disadari, ternyata saya telah
sendiri di ruangan ini. Beberapa orang yang tadi telah berdiri di depan masjid,
bersiap pergi. Sering kali saya lewat masjid di waktu-waktu seperti ini memang
selalu sepi, lampu mati, masjid telah tertutup rapi. Saya jadi tidak enak kalau
begini, jadi saya memutuskan untuk beranjak dan duduk di depan masjid,
melanjutkan doa, melanjutkan tanya.
Semakin kalut saja perasaan saya di sini. Agak berbeda
dengan di dalam. Sepi, hanya sinar lampu dan hembus angin malam yang menemani. Duduk,
dengan tangan saling berpegangan untuk menahan kaki yang dilipat berdiri,
sambil melamun, sambil bertanya. Kenapa harus dia? Kenapa harus dia? Kenapa
harus dia? Kenapa harus Fadhillah? Dia salah satu sahabat terbaik yang saya punya
ya Allah. Dia yang nomor satu, dan sekarang kau panggil untuk menghadapmu.
Kenapa dia ya Allah? Kenapa? Lalu siapa lagi yang akan saya temui ketika saya
pulang ke Lampung? Siapa lagi teman yang akan saya rindukan agar saya segera
pulang? Siapa lagi teman yang merindukan saya untuk segera pulang? Siapa lagi
orang yang selalu menghampiri rumah saya setiap hari ketika saya pulang? Siapa
lagi yang mengajak saya bermain ketika saya pulang? Siapa lagi yang mengajak
saya bersepeda menyusuri kota? Siapa lagi orang yang memuji rambut keriting
saya? Siapa lagi yang menemani saya main PS sampai malam? Siapa lagi yang mau
berbincang dengan saya tentang kehidupan sampai malam? Siapa lagi yang tahu
tentang rahasia saya? Siapa lagi yang akan mendengar cerita saya? Siapa lagi
teman yang selalu ada untuk saya? Siapa lagi? Siapa lagi? Siapa lagi ya Allah?
Hari ini adalah hari pengumuman penerimaan murid SMP yang
baru. Saya dan orang tua datang langsung ke sekolah untuk melihatnya. Papan
pengumuman diletakkan persis di tengah-tengah lapangan upacara bendera yang
kecil, sangat kecil bila dibandingkan dengan lapangan SD saya dahulu. Papan
kayu coklat, berdindingkan kaca, tempat mereka menempelkan lembaran kertas
berisi pengumuman itu. Tak begitu ramai yang sedang melihat, saya meringsek
lewat bawah. Ada satu nama yang saya kenal dan saya lihat pertama kali karena
nama yang cukup panjang. Achmad Fadhillah Akrabi. Ya, ternyata dia masuk ke SMP
ini. Bahkan di urutan yang lumayan bagus. Urutan yang akan menempatkan dia di
kelas unggulan. Hebat sekali. Saya tak berhenti mencari nama saya dan akhirnya
Ibu saya yang menemukanya pertama kali. Agak di ujung kanan bagian atas, dengan
nilai yang tak sebaik teman saya tadi, cukup jauh bahkan. Tapi tak apa lah. Diterima
di SMP terbaik di Lampung ini saja sudah merupakan kabar besar untuk saya.
Alhamdulillah.
Hari pertama masuk sekolah tiba. Semua masih menggunakan
seragam putih merah andalan, kecuali satu anak itu, si anak cengengesan itu, si
Fadhillah. Dengan pede nya ia pakai
seragam putih biru, sendirian. Terlihat keren sekali. Kami semua iri melihat
seragam itu ia pakai. Kurang ajar memang itu anak, padahal belum ada perintah
untuk memakai seragam itu. Begitulah memang dia, percaya diri, masa bodoh.
Sayang kami tidak sekelas. Ia berada di kelas A, kelas unggulan, sedangkan saya
di kelas E. Begitupun kelas 2, kami kurang banyak interaksi karna tidak
sekelas. Di kelas 3 baru lah kami sekelas. Kelas 3B. Kelas “kondang” sebutanya.
Itu pun dia yang membuat istilahnya. Jadi ada acara TV, kompetisi menyanyi
dangdut yang bernama “Kondang In”. Dan karena kami, khususnya Tyok, salah satu
anak bandel di kelas kami dan kebetulan sebangku dengan Fadhillah, sering kali
nyanyi dangdut, akhirnya kelas itu diberi nama kelas “Kondang”. Memang sedikit
kurang maksud, tapi kami semua senang dengan nama itu. Kelas Kondang, yeah.
Kelas kami sangat
kompak. Paling kompak di antara kelas-kelas yang lain. Lebih kompak dari
kelas-kelas saya terdahulu. Siapa lagi
aktornya kalau bukan dia. Tak ada hari tanpa tawa, tak ada hari tanpa canda,
kecuali dia tidak hadir di kelas kami. Ah, tapi sepertinya tidak pernah, dia
tidak pernah tidak masuk. Pernah sekali kelas gempar ketika ia berkelahi dengan
Tyok teman sebangkunya itu. Mereka berkelahi ketika jumat pagi, ketika sedang
membaca Al-Qur’an. Konyol sekali penyebabnya, pinjam meminjam Al-Quran. Saya
marah kala itu, melerai mereka yang lebih mirip setan, berkelahi di saat yang
lain sedang membaca Al-Quran. Tapi semua berlalu begitu cepat, seperti tidak
ada apa-apa, berjalan normal kembali seperti biasa. Sore hari, hampir tiap
hari, sepulang sekolah, ia beserta beberapa teman yang lain pasti mampir main
di rumah saya. Hanya sekedar main PS atau hanya sekedar berkumpul. Tak ada
bosan di dekatnya, selalu saja ada bahan yang dibuat bercanda, dibuat tertawa.
Dimana ada dia, pasti suasana menjadi cair, pasti ceria, tidak ada gengsi,
tidak ada ketegangan, tidak ada kecanggungan. Hidup serasa hidup. Seperti tak
punya masalah bila didekatnya. Dia selalu punya cara untuk membuat tertawa.
Lawakan-lawakan yang ia berikan juga tak ada yang menyakiti, tak ada yang
mengejek, tapi itu lucu dan terus ia up-date.
Dia selalu punya cara untuk mencairkan suasana. Luar biasa orang ini. Disenangi
setiap orang, tak punya musuh, ataupun lawan, semuanya kawan. Orang ini langka.
Teman saya ini langka. Senang berteman denganya.
SMA kami berbeda.
Saya yang tidak diterima di SMA paling favorit di daerah, masuk ke SMA 9.
Sedangkan ia yang memang memang memilih SMA 10 sejak awal berhasil diterima
disana, sekolah yang lebih dekat dengan rumah Neneknya. Tapi berbedanya sekolah
ini tidak merenggangkan kami. Rumah saya yang kebetulan juga dijadikan tempat
berkumpul anak-anak SOS (Science One Syndicate, sebutan kelas saya di SMA)
malah kedatangan teman baru. Ya, anak-anak SOS pun saya perkenalkan dengan
Fadhillah. Hasilnya? Langsung akrab. Langsung nyambung. Bahkan sangat akrab. Tak
butuh waktu lama untuk akrab dengan Fadhillah, siapa saja. Tak berbeda jauh
dengan SMP, hampir setiap sore pula rumah saya menjadi persinggahan
teman-teman. Senang rasanya. Tak jarang Fadhillah ikut bergabung bersama kami.
Oh, sering malah, lebih sering dibandingkan dengan teman-teman di sekolahnya.
Lama kelamaan, tanpa disadari, sepertinya kami telah memasuki hubungan
persahabatan. Wakerz. Itu panggilan gank
kami. Tak usah ditanya darimana asalnya, pasti orang itu lah yang memberinya.
Ya, siapa lagi kalau bukan Fadhillah. Wakerz berasal dari kata “WAK” yang
artinya pelawak. Karena kami, tak lebih adalah sekumpulan pelawak. Walaupun
kontribusi lawak paling besar hanya dari orang-orang tertentu, terutama dia
sendiri. Jadi dengan diterbitkanya nama itu, semua anak di gank ini dipanggil dengan satu kata, “WAK”. Banyak sekali bertaburan
kata “WAK” ketika obrolan tengah berlangsung. Entah “WAK” siapa yang dimaksud.
“Wey WAK, WAK!”
Banyak sekali
program kerja Wakerz. Dari rutin main PS bareng di rumah saya, menginap di sana
menginap di sini, pernah sampai menginap di hotel, pantai ini pantai itu,
futsal yang di sini futsal yang di situ, menjelajahi mall demi mall, menonton
film di bioskop, foto-foto dimana-mana, ah banyak sekali, sulit rasanya untuk
mengurainya satu per satu. Tak terasa 3 tahun berlalu, anggota Wakerz semua
terpencar. Para laskar pelawak menjalani kehidupan barunya masing-masing.
Tiba-tiba saja
ingatan saya tertuju pada satu wanita. Saya membayangkan bagaimana perasaan
wanita itu sekarang. Puas? Atau menyesal setengah mati? Atau tak peduli? Dasar
wanita tak punya hati! Kesal sekali saya membayangkan dirinya. Rasanya ingin
teriak kencang persis di depan mukanya, muka wanita tak berperasaan. Ah,
mungkin saya agak berlebihan. Tapi memang itu perspektif saya akan dirinya.
Satu-satunya wanita yang buat Fadhillah jatuh cinta, untuk yang pertama
kalinya, dan berarti untuk yang terakhir. Tanpa disadari tangan ini mengepal.
Refleks otak menyuruhnya untuk meninju angin yang semakin dingin di depan
masjid ini. Mencoba melepaskan kekesalan saya akan wanita itu. Nuv. Ya,
Fadhillah sudah mengajarkan saya akan arti kesetiaan. Kesetiaan bahkan hingga
akhir masa hidupnya. Kesetiaan yang penuh pengorbanan. Kesetiaan yang satu
arah. Cinta sejati. Sejatinya cinta seperti ini.
Ada gambar wanita di
layar depan telfon genggamnya. Spontan saya rebut Son-Er itu dari genggamanya.
Lumayan asik, tomboy lebih tepatnya. Ah, tahu sekali memang seperti ini tipe
wanitanya. Model-model penyanyi barat yang tomboy itu, salah satu yang ia
gemari, Avril Lavigne. Rupanya pun agak mirip. Kualitas nomor 2 bisa dibilang.
Ternyata mereka belum berhubungan, masih teman akunya. Tapi jelas sekali rona
malu di wajahnya. Ah, senang sekali melihat sahabat saya seperti ini. Akhirnya
bisa juga dia suka sama wanita, saya kira hanya bisa ngelawak saja. Terus
didekatinya wanita itu, khusunya lewat pesan singkat. Khas sekali gaya-gaya
anak SMA yang mulai mendekati wanita. Salut saya dengan caranya merebut hati
wanita itu. Banyak sekali pengorbananya. Beberapa kali ia “nembak” wanita itu.
Iya beberapa kali, dan hasilnya selalu ditolak. Tapi bukan Fadhillah kalau
menyerah soal yang begini. Cintanya ya cuman satu, wanita itu aja, tidak akan
dia pindah ke yang lain. Terus ia berusaha hingga pada akhirnya wanita itu
menerima cintanya. Senang sekali ia memberitahukanya pada saya. Saya tak kalah
senang mendengarnya. Lama berjalan nampaknya Fadhillah sudah terlewat batas. Ia
benar-benar tergila-gila hingga melupakan urusan masa depanya. Sempat saya beri tahu tapi tak begitu mempan
sepertinya. Ya sudahlah.
Hingga suatu saat kabar itu datang. Hubunganya dengan wanitanya itu
putus. Hancur sekali dia. Rambut yang kriwil berantakan sangat menggambarkan
keadaanya. Lawakanya juga berkurang. Ah saya harus membantunya. Saya mencoba
memberikan pesan lewat sosial media kepada wanitanya itu dan tak lama ia balas.
Diawali basa-basi yang penting tidak penting, saya mulai masuk ke topik. Oh,
ternyata dia tidak menyembunyikanya. Dia menjabarkan beberapa, kami berbincang
di sana. Saya mencoba meyakinkan-nya. Tapi sepertinya ia kukuh pada
pendirianya, walau sempat sedikit goyah. Ya sudahlah, saya sudah coba membantu
dan saya pun telah menjelaskanya pada Fadhillah. Ah, dia masih keras kepala. Ia
jatuh begitu dalam nampaknya. Tak ada yang bisa menariknya keluar. Terus saja
ia berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan wanitanya kembali. Roti
shereen dan jersey Liverpool yang saya ingat sekali. Sang wanita menerima
pemberianya. Senang sekali wajahnya. Sangat sangat teramat sangat. Menyetir
saja sambil senyum-senyum sendiri. Padahal tahu kah kau? Roti yang ia berikan
hanya diletakkan di depan kost wanita itu. Wanita itu tak ingin bertemu
langsung. Begitupun jersey Liverpool yang diberi. Tak pernah ia melihat
wanitanya itu memakainya langsung. Tapi ia tetap saja senang. Oh, jahat sekali
wanita ini. Apapun alasanya, hilang respect
saya dengan wanita ini. Dia menyakiti sahabat saya. Saya tidak terima.
Dalam kesendirian ini saya mulai berfikir. Benar memang, cinta
sesungguhnya itu satu arah. Setia sejatinya itu satu arah. Tak perduli ia
kembali atau tidak. Fadhillah telah membuktikan hingga akhir hayatnya.
Benar-benar ingin tahu saya apa perasaan wanita itu saat ini. Ah, sudahlah,
percuma saja saya memikirkanya. Saya coba mengalihkanya kepada yang lain.
Teringat satu nama yang ingin sekali saya temui sekarang. Bila saja ia hadir di
sini, pasti sudah saya peluk saat itu juga. Menangis sejadi-jadinya. Edok.
Begitu dia biasanya dipanggil. Tapi tidak dengan kita, saya dan Fadhillah. Kami
lebih sering memanggilnya dengan “Code” plus aksen bahasa inggrisnya. ”Code”
kebalikan dari edok, lalu di inggris-kan. Luar biasa, ada-ada saja. Tapi
lagi-lagi kami menikmatinya. Ah ingin sekali Nigga lagi bersama mereka.
Minggu pagi telah tiba. Kepulangan saya ke kampung halaman ini tidak
boleh melewatkan momen sehari pun. Sejak malam hari saya telah mengajak mereka,
Edok dan Fadhillah untuk Nigga esok harinya. Apa itu Nigga? Lagi-lagi Fadhillah
yang menyebut pertama kali istilah itu. Nigga itu aktifitas kita bertiga
berjalan-jalan memperluas kekuasaan keliling kota dengan hanya berjalan kaki.
Ya, jalan kaki! Dari satu mall ke mall yang lain cuman jalan kaki. Persis
sekali orang-orang negro di film-film barat itu. Sambil berjalan dan berkata
khas aksen orang negro, kita sebut ini, Nigga. Obrolan, canda, tawa, selalu
menghiasi perjalanan kita. Sekedar mampir melihat buku di gramedia dan tak
sengaja bertemu teman lain di sana, lanjut lagi ke artomoro (sekarang
hypermart) lalu ke lantai atas lalu duduk di tempat tunggu bioskop sambil
melihat dengan sengaja dari awal sampe akhir orang-orang yang lewat di depan
kita, dilanjutkan lagi ke moka (mall kartini) untuk sekedar main
tinju-tinjuan-yang-kalah-push-up atau makan eskrim McD karokean di karaoke box
berisi tiga orang atau foto box bertiga menggunakan rambut kribo, saat lapar
mampir dahulu ke rumah makan padang puti minang hingga kuah semua masakan yang
dihidangkan habis, dan masih banyak yang lainya. Ah, selalu menyenangkan hari
minggu saya bersama mereka. Tak ada tawa yang terpaksa, tak ada canda yang
menyakiti, hanya ada rasa bahagia di hati. Mereka lah Sahabat Nigga.
Malam semakin dingin. Bulan semakin tinggi. Tak ada lagi seorang pun
yang melewati halaman masjid ini sedari tadi. Ya, saya harus kembali. Saya
mencoba menggerakkan seluruh raga ini untuk kembali. Berat rasanya. Saya tinggalkan
sudut masjid yang akan selalu saya ingat itu. Lunglai ku berjalan menyusuri
blok demi blok paping yang tersusun. Ada yang tenggelam, ada yang timbul, ada
pula yang berlubang. Sesekali muncul sedikit aspal yang tak lagi hitam,
kemudian kembali lagi blok paping yang saya injak. Satu gundukan semen saya
langkahi, hampir saja saya tersandung karenanya. Warung 24 jam terbuka lebar di
sisi kiri. Ada dua manusia yang sekedar duduk di kursinya sambil menyaksikan
kotak bergambar. Sempat tertawa kecil, lalu kemudian meneguk air berwarna di
dalam gelas di hadapanya. Ingin rasanya menjadi mereka saat ini juga. Pasti
mereka sedang ringan. Ah, kulanjutkan perjalanan lelahku ini, tak tahu mengapa
terasa lebih lama dari biasanya. Berjumpa dengan persimpangan, tapi jalanan
sudah sepi. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar dari arah semak belukar
belakang rumah di persimpangan jalan itu. Ingin rasanya jadi jangkrik saat ini
juga, pasti ringan rasanya. Belok kiri persimpangan, kembali jalanan kosong.
Ah, andai saja saat ini saya amnesia, mungkin saya tidak akan kembali ke tempat
tinggal saya. Mungkin saya sudah pergi entah kemana. Kulanjutkan perjalanan
pulang ini. Ah, tak ada yang menarik di jalanan ini. Atau mungkin saya yang
sedang memikirkan hal yang lain hingga tak memperhatikan sekitar? Tak tahu lah.
Hingga tiba ku di halaman parkir tempat tinggal ku. Berjejer kendaran beroda
dua sedang berdiri rapi di sana. Ada sekitar 6 sampai 7 motor. Ingin sekali ku
tendang hingga rubuh semua mereka, jatuh, hancur, biarkan saja. Tapi saya
mengurungkan niat itu, ternyata di ujung ada kendaraan milik saya juga. Masuk
saya melewati pintu belakang, melewati lorong kamar yang gelap, membuka pintu
kamar yang tak terkunci, menutupnya kembali dengan perlahan. Saya jatuhkan
badan ini tepat di atas kasur dan bantal di arah wajah. Saya biarkan gaya
gravitasi yang ada membantu badan ini terhempas. Lalu saya paksakan mata ini
untuk terpejam. Ketika mata ini terbuka kembali, saya melihat satu cahaya di
dekat wajah ini. Cahaya dari telefon genggam ternyata. Coba saya raih dan saya
lihat. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari mereka, Ruth dan Adit, teman
kelas SMA yang juga sekolah di Jogjakarta. Saya balas pesan singkat seadanya,
lalu melanjutkan usaha untuk memejamkan mata, memasuki dunia yang lain.
Pagi menjelang. Subuh sedikit terlambat. Pasti efek tidur yang telat
semalaman. Saya lanjutkan berbaring, tidak tahu apa yang akan saya lakukan.
Saya hanya melamun. Rasanya akan seharian saya seperti ini. Rasanya malas ingin
bangun dari tempat ini. Rasanya malas ingin keluar dari ruangan ini. Mencoba
menyentuh barang-barang yang sebenarnya tak berarti apa-apa. Menggoresi kaki
meja, mengusap-usap sprei, meremas-remas bantal, dan beberapa hal bodoh
lainnya. Ketika tangan sedang menggaruki
karpet biru itu, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu kamar yang sebenarnya
tidak tertutup, terbuka sedikit. Kaget saya melihat mereka berdua. Kapan
datangnya? Kenapa tidak terdengar? Mereka berdua adalah Adit dan Ruth yang
semalam menelepon. Ah, kenapa mereka datang? Mereka mau apa? Cepat-cepat saya
menghapus sisa air mata di sekitar pipi. Mencoba bertingkah laku seperti biasa.
Ah, ternyata saya tidak bisa merekayasanya. Tetap saja mengalir, justru lebih
parah. Air wajah mereka yang justru membuat parah. Ruth terutama.
Tak banyak kata yang keluar dari lisan mereka. Saya pun hanya diam.
Ingin rasanya menyampaikan sesuatu kepada mereka. Pesan yang harus saya
sampaikan kepada sahabat-sahabat juga seperti mereka. Lidah ini tertahan, namun
pada akhirnya saya katakan.
“Makanya ya Dit, Ruth, kalo
kalian lagi ada masalah, atau lagi sakit, atau apa lah, jangan diem aja. Kasih tau gw lah, atau temen
yang lain. Bukan apa-apa, siapa tau kan kita bisa bantu. Walopun gak begitu
berguna, tapi paling enggak kan bisa bikin elo gak sendirian lah ngadepinya. Ya?”
Adit pulang. Ruth tetap tinggal. Entah apa yang ingin ia lakukan dengan
komputer lipat itu, saya tetap saja berdiam melakukan kegiatan-kegiatan yang
tidak jelas. Tiba-tiba ia memanggil saya. Ia menunjuk kea rah computer lipat
itu dan menawarkan saya untuk melihat sesi pemakaman lewat video streaming dari teman saya yang sedang ada di sana. Melihat
untuk terakhir kalinya. Ah, gila. Saya masih belum bisa. Masih belum kuat untuk
melihatnya. Saya tolak tawaranya itu, kembali menelungkupkan badan. Entah hingga kapan. Tawaranya yang kedua
dilontarkan. Kali ini untuk makan. Tidak, saya juga menolaknya. Tapi tetap saja
ia memaksa. Hingga akhirnya saya menyerah, dan kali ini mengikuti tawaranya. Warung
terdekat menjadi tempat kami makan. Saya tak tahu, mungkin bisa saja hingga
esok saya tidak akan menelan sebutir nasi pun bila saja ia tidak mengajak saya
untuk makan. Bahkan hingga beberapa hari selanjutnya, ia kerap menemani saya
untuk makan. Membantu saya untuk tetap hidup. Terimakasih Ruth.
Hari ini, sudah setahun lebih engkau meninggalkanku. Tahukah kau? Aku sungguh rindu kepadamu
kawan. Aku rindu segala tingkahmu. Aku rindu, rindu sekali. Aku rindu..
Aku rindu caramu memanggilku…
“Pek”
Khas sekali suaramu. Itu sebutan yang kau buat untuk ku, dan juga
dipakai beberapa teman lain. Sixpack. Itu awal mulanya. Hingga kau akhirnya
menyingkatnya dengan “Pack”. Tahukah kau? Sebenarnya aku senang kau panggil
seperti itu, walau terkadang terlihat seperti kesal, padahal tidak, tidak sama
sekali. Aku ingin kau panggil seperti itu lagi. Ayo panggil dil.. Aku ingin
dengar lagi nada khas suaramu. Aku rindu caramu memanggilku itu..
Aku rindu berada di dekatmu..
Mendengar lawakanmu.
Tahukah kau? Hanya saat di dekatmu aku selalu tersenyum, selalu
tertawa. Hanya di dekatmu yang bisa membuatku bisa ikut melawak. Lawakanmu
dapat membuat semua orang tertawa. Tidak menyakiti, tidak pula pula mencela.
Suasana apa pun saat di dekatmu pasti jadi lucu. Ah, aku rindu berada di
dekatmu..
Aku rindu rambutku kau pegang..
“Rambut lo kok bagus sih pek?”
Ah, tahukah kau? Senang sekali rasanya mendengar tanyamu itu. Walau aku
hanya berpura bertingkah biasa, tapi sebenarnya aku suka. Tak ada yang pernah
menyukai rambutku, bahkan aku sendiri. Caramu melinting rambutku, yang
sebenarnya mirip rambutmu, rindu sekali aku saat-saat itu..
Aku rindu rumahku kau hampiri..
Setiap hari.
Setiap aku pulang, hampir tak ada satu hari pun aku tidak melihatmu.
Kau selalu menghampiri rumahku walau kita hanya sekedar bercanda biasa. Tahukah
kau? Saat berbincang denganmu hingga malam itu adalah saat-saat yang tak akan
pernah ku lupa. Oh kapan lagi rumahku kau hampiri, aku rindu..
Aku rindu bersepeda denganmu..
Hingga ke pusat kota.
Kau senang sekali dengan sepeda barumu. Dan Ayah ku pun kebetulan baru membeli
sepeda baru. Pas sekali. Kau datang dengan membawa sepeda, khas sekali dengan
tas punggung yang selalu kau bawa itu. Tahukah kau? Tak pernahnya aku sesenang
itu bersepeda, bagai di surga. Rindu..
Aku rindu mendengar bacaan solatmu yang sangat cepat itu, aku rindu
mendengar kesalmu ketika sedang berbicara dengan ibumu di telfon, aku rindu
mendengar suara ringtone itu, aku
rindu mendengar suara cemprengmu, aku rindu, aku rindu, aku rindu…
Tak akan ada yang bisa merupaimu. Tak akan ada yang yang bisa
menggantikanmu. Kau satu idolaku. Kau yang telah mengajarkanku banyak hal..
Teguhlah pada pendirianmu, pertahankanlah itu, bila memang kau yakini
itu benar, seperti sikapmu pada kacamata ku yang hilang.
Percaya saja dengan diri sendiri, biarkan saja orang bilang apa, tak
usah kau dengar yang tidak baik, bila memang yang kau lakukan itu benar.
Bila melakukan kesalahan, atau tindakan bodoh yang memalukan, jangan
pernah malu, karena kau akan mendapati 2 malu. Satu, malu untuk tindakan
bodohmu. Dua, malu untuk malu mu itu sendiri. Seperti yang kau bilang saat kau
terpeleset di depan khalayak ramai.
Jangan tunjukkan sedihmu di depan orang-orang, tetaplah ceria, tetaplah
tertawa, apapun kondisimu, karena orang lain tak ingin melihatmu bersedih,
begitulah tingkah lakumu.
Hilangkanlah gengsi. Gengsi hanya akan membuatmu tersiksa. Itu yang kau
bilang saat hendak mengambil makanan pada sebuah pesta ulang tahun.
Kesetiaan. Kau benar-benar mengajariku akan hal itu. Tak perlu risau
tak terbalas, karena sejatinya kesetiaan itu satu arah, lakukan saja, nikmati
indahnya. Seperti yang kau lakukan pada gadismu.
Buatlah suasana di sekelilingmu ceria, hilangkan ketegangan, buat
mereka tertawa, tersenyumlah. Mungkin ini tingkahmu yang tak akan mungkin bisa
ku saingi. Cuman kau yang bisa.
Benar, tak akan ada yang bisa menyerupaimu. Tak akan ada yang bisa
menggantikanmu. Walau sudah coba ku cari, namun hingga kini pun tak pernahnya
ku temukan. Kau idolaku nomor satu. Tak perlu kau ragu, hingga selamanya akan
ku ingat dirimu. Tak akan pernah ku lupakan. Bahkan tahukah kau? Kau telah
masuk di jajaran doa ku setelah solat. Hebat sekali kau, bisa bergabung bersama
Ibu, Ayah, dan Kakak-kakak ku. Selamat! Bahkan aku pun tak menyangka kau bisa
selalu hadir dalam setiap doa di sujudku. Tenang saja kawan, akan kupertahankan
itu. Karena, apa lagi yang bisa ku perbuat untukmu selain mendoakanmu kan? Sudah, kau tunggu saja aku disana. Siapkan dulu sepedamu. Tapi kau benahi dulu itu
standard sepedamu, agar nanti bila ku datang, aku tak perlu lagi menunggumu
membenahinya. Ohya, jangan lupa tas punggungmu, agar ku bisa menitipkan telfon
genggamku di dalamnya. Kau cari tahu dulu kemana kita akan bersepeda. Di sana
banyak tempat yang bagus bukan? Nanti ku bawa kameraku, berfoto ria kita di
sana. Jangan lupa up-date dulu
lawakanmu. Aku tak mau mendengar lawakan yang sama lagi. Aku mau yang baru, kan
kita sudah lama tidak bertemu. Oke oke? Tunggu aku di sana ya, jangan dulu kau
bermain dengan yang lain, nanti bisa sedih aku. Oke? Selamat berjumpa..
~ Harus menunggu setahun aku baru bisa menuliskan ini. Tak kuat aku.
Bahkan melihat fotomu aku masih belum sanggup sebelum ini. Sebelum aku
benar-benar sadar, ternyata kau di sana bertemu dengan Allah. Dia lah yang
memanggilmu, jadi kenapa aku harus sedih kan? Harusnya aku senang. Kau dirindukan
oleh-Nya. Orang sebaikmu. Ah pantas lah itu. Ya walau ketika menulis ini tetap
saja aku menangis, tapi tenang kawan, hanya sedikit saja kok, wajar kan? Hehe.
Oke, terimakasih kawan kau telah hadir di dalam hidupku, menghiasinya dengan
segala tingkahmu. Mewarnainya dengan warnamu sendiri. Sungguh beruntung aku
pernah mengenalmu. Beruntung sekali aku bisa menjadi temanmu. Ya, beruntung
sekali. Sahabat terbaik, sahabat sesungguhnya, role model sahabat di dunia ini, Achmad Fadhillah Akrabi. Semoga kau tak keberatan ya
kisah ini aku tuliskan. Aku kan pelupa dil, jadi ini sebagai media pengingatku,
oke dil? Oke Wak? Wey Wak Wak!
~Terimakasih juga buat teman-teman yang lain yang juga ikut saya masukkan namanya di tulisan ini. Semoga saja tidak keberatan ya :)