Aku tertawa
lalu menangis. Aku menangis kemudian gusar. Aku tidak tahu bagaimana wajahku
yang sesungguhnya nanti pada akhirnya. Sungguh, jika kau melihatku bersinar
pada malam, itu bukanlah sinaranku. Matahari telah memantulkan cahayanya
sehingga aku terlihat lembut di matamu.
Dengan
jarakmu denganku yang tak seberapa, aku leluasa melihatmu setiap waktu. Dan
dengan keterbatasanmu, kau pikir aku hanya ada pada malammu.
Yang sebenarnya ada dalam hatiku adalah kekalutan yang sama sepertimu. Aku dan matahari. Kalian pikir kami bahagia dengan perjalanan panjang yang rasanya tak berujung ini? Melihat kalian berjatuhan, bangkit, menikam, lalu tiba-tiba bersenda gurau, dan entah akhir seperti apa yang kalian harapkan.
Yang sebenarnya ada dalam hatiku adalah kekalutan yang sama sepertimu. Aku dan matahari. Kalian pikir kami bahagia dengan perjalanan panjang yang rasanya tak berujung ini? Melihat kalian berjatuhan, bangkit, menikam, lalu tiba-tiba bersenda gurau, dan entah akhir seperti apa yang kalian harapkan.
Kubisikkan
sekali lagi padamu. Lihatlah matahari pada siangmu. Ketika kau tundukan wajahmu
di atas sajadah dhuha-mu. Dengan nama Allah Tuhan Sekalian Alam, jadikan imanmu
pada Allah laksana matahari, memancar dan menghidupi.
Tatkala malam menjelang, pandanglah aku pada gelapmu yang pekat. Aku akan
tersenyum dengan sangat indah. Saat mustakamu kau benamkan lagi dalam tangis
tahajudmu, ketika kau berurai air mata karena merasa dirimu begitu kecil,
guratan muram di wajahku sedikit demi sedikit akan menghilang. Atas nama Allah
Tuhan Penguasa Siang dan Malam. Jadikan amalanmu laksana bulan purnama yang
menerangi kegelapan.
Aku, kau,
dan matahari. Kita berada dalam satu sumbu yang sama, dan matahari dialah pusat
tata surya. Sebagaimana iman pada Allah yang seharusnya menjadi pusat semesta
kita. Ketika malam tiba, purnamamu adalah pantulan “imanmu”. Bulan bersinar
terang, karenalah matahari memancar dengan elegan. Tanpa matahari iman, setiap
keadaan hanyalah gumpalan dataran hitam, gelap gulita, dan tak berguna.
Kemudian
teringat janjiku pada matahari saat hari nahas itu. Sungguh aku iri pada
matahari karena dirinya tak pernah diminta Tuhan membelah sepertiku. Lalu aku
menangis, karena aku malu pada Sang Penciptaku…
Dari aku, saksi mata segala generasi.
-Sepenggal kutipan di penghujung buku Bulan Terbelah di Langit Amerika
Karya Hanum Salsabiela Rais &
Rangga Almahendra-
Catatan: Bertambah lagi. Buku yang di-filmkan kembali mengecewakan.
Tidak ada komentar: