Jumat, 01 Januari 2016



Aku tertawa lalu menangis. Aku menangis kemudian gusar. Aku tidak tahu bagaimana wajahku yang sesungguhnya nanti pada akhirnya. Sungguh, jika kau melihatku bersinar pada malam, itu bukanlah sinaranku. Matahari telah memantulkan cahayanya sehingga aku terlihat lembut di matamu.
Dengan jarakmu denganku yang tak seberapa, aku leluasa melihatmu setiap waktu. Dan dengan keterbatasanmu, kau pikir aku hanya ada pada malammu.
Yang sebenarnya ada dalam hatiku adalah kekalutan yang sama sepertimu. Aku dan matahari. Kalian pikir kami bahagia dengan perjalanan panjang yang rasanya tak berujung ini? Melihat kalian berjatuhan, bangkit, menikam, lalu tiba-tiba bersenda gurau, dan entah akhir seperti apa yang kalian harapkan.
Kubisikkan sekali lagi padamu. Lihatlah matahari pada siangmu. Ketika kau tundukan wajahmu di atas sajadah dhuha-mu. Dengan nama Allah Tuhan Sekalian Alam, jadikan imanmu pada Allah laksana matahari, memancar dan menghidupi.
Tatkala malam menjelang, pandanglah aku pada gelapmu yang pekat. Aku akan tersenyum dengan sangat indah. Saat mustakamu kau benamkan lagi dalam tangis tahajudmu, ketika kau berurai air mata karena merasa dirimu begitu kecil, guratan muram di wajahku sedikit demi sedikit akan menghilang. Atas nama Allah Tuhan Penguasa Siang dan Malam. Jadikan amalanmu laksana bulan purnama yang menerangi kegelapan.
Aku, kau, dan matahari. Kita berada dalam satu sumbu yang sama, dan matahari dialah pusat tata surya. Sebagaimana iman pada Allah yang seharusnya menjadi pusat semesta kita. Ketika malam tiba, purnamamu adalah pantulan “imanmu”. Bulan bersinar terang, karenalah matahari memancar dengan elegan. Tanpa matahari iman, setiap keadaan hanyalah gumpalan dataran hitam, gelap gulita, dan tak berguna.
Kemudian teringat janjiku pada matahari saat hari nahas itu. Sungguh aku iri pada matahari karena dirinya tak pernah diminta Tuhan membelah sepertiku. Lalu aku menangis, karena aku malu pada Sang Penciptaku…

Dari aku, saksi mata segala generasi.

-Sepenggal kutipan di penghujung buku Bulan Terbelah di Langit Amerika
Karya Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra- 

Catatan: Bertambah lagi. Buku yang di-filmkan kembali mengecewakan.

Tidak ada komentar:

 
Design by Muhammad Dimas Rahman Affandi | Bloggerized by campredodellaconcetta - samid namhar - @midsamid | Lampung-Jogjakarta-Indonesia