Minggu, 24 Januari 2016

Budaya


budaya/bu·da·ya/ n 1 pikiran; akal budi: hasil --; 2 adat istiadat: menyelidiki bahasa dan --; 3 sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yang --; 4 cak sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah;

Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah”. Terdapat kata “sukar” di dalam definisi tersebut, yang artinya, bukan tidak mungkin dapat diubah.
Beberapa hari yang lalu, saya berenang di sebuah kolam renang yang terletak di dalam kompleks perumahan. Kebetulan sedang ada acara perayaan tahun baru (yang tidak saya ketahui sebelumnya), sehingga kolam sangat dipadati oleh pengunjung. Di sisi pinggir kolam terdapat panggung yang menampilkan beberapa artis Ibukota. Salah satu lagu yang mereka bawakan masing-masing pasti ada lagu yang berbahasa daerah. Memang masih bagus budaya kedaerahan di sini. Mereka lebih senang menyanyikan lagu batak ketimbang lagu barat. Mereka lebih senang berkomunikasi dengan bahasa daerah mereka (ketika antar mereka berkomunikasi), bahkan ketimbang menggunakan bahasa Indonesia. Mereka tidak malu berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, tidak seperti di kampung halaman saya yang seperti dianggap “kampungan” ketika berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Efek dari itu, saya lihat, tidak banyak dari mereka yang bisa, atau sekedar mau, untuk belajar bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional yang di tahun ini mulai sangat diperlukan akibat diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Oke, mungkin itu terlalu jauh.
Keadaan kolam begitu padat. Hingga teman yang sedang ingin belajar berenang sampai kebingungan karena selalu menabrak orang lain ketika baru berenang sedikit saja (karena belum bisa melihat ke depan). Semuanya masih berjalan seperti biasanya hingga semburat senja di langit berangsur-angsur menguning kemerah-merahan. Sebagian dari pengunjung mulai meninggalkan tempat. Tapi sayangnya, sebagian dari mereka tidak hanya meninggalkan tempat, tapi juga meninggalkan sampah. Bungkus mie gelas, bungkusan roti, bungkusan cemilan mereka biarkan tercecer di pinggiran kolam, bahkan hingga tergenang masuk ke dalam kolam renang. Benar-benar pemandangan yang menjijikkan. Bayangkan saja, di tempat kolam renang seperti itu, yang dituntut kebersihannya, yang bukan tidak ada kotak sampahnya, dengan mudahnya mereka buang sampah makanan dimana mereka suka. Habis makan di sini, buang di sini. Habis makan di sana, buang di sana, “biarkan aja, nanti juga ada yang bersihin”.  Sebuah perilaku yang buruk, yang sudah menjadi kebiasaan, membudaya.
Budaya tersebut terbawa dimana saja, kapan saja. Di dalam mobil, di areal parkir, di taman bermain, dll. Memang, ada sedikit faktor lingkungan yang membentuk budaya. Ambil contoh seperti di kolam renang. Andaikan saja tempat sampah tersedia di seluruh penjuru tempat, dengan bentuk yang lucu dan menarik, mungkin ceritanya akan lain. Mungkin, bisa saja.
Selain membuang sampah, ada juga budaya berkendara. Kali ini di lokasi yang berbeda, Jogjakarta. Bila mengamati lalu lintas di jalanan Jogjakarta, maka ada yang sedikit berbeda. Di persimpangan lampu lalu lintas kota, ada satu tempat khusus bagi pengendara sepeda. Warnanya hijau, tulisannya jelas, tidak begitu luas tapi cukup untuk membuat istimewa. Jangankan mobil, bahkan motor pun (bisa dibilang) sangat jarang yang “berani” berhenti di areal khusus sepeda tersebut. Bukan tidak berani karena takut di-tilang polisi, tapi karena.. ya karena sudah budayanya seperti itu. Budaya malu untuk melanggar. Budaya yang terbentuk akibat kebiasaan. Karena tak ada satu pun yang melanggar, jadi, siapapun itu, bahkan orang pendatang yang sudah sering melanggar di kota-nya sendiri sekalipun, akan segan untuk melanggar. Bahkan sampai ada yang rela me-mundurkan kendaraannya ke posisi yang seharusnya ketika sudah terlanjur melanggar. Keren.
Memang terdapat faktor lingkungan-yang-mendukung dalam pembentukan budaya, saya mengakuinya. Tapi menurut saya, budaya terbentuk dari lingkup terkecil, yaitu “meja makan keluarga”.
Dasar kepribadian, karakter, pola perilaku, terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang dajarkan dan diterapkan di dalam keluarga, baik disengaja ataupun tidak disengaja. Semuanya dimulai bahkan sejak kita masih belum bisa berbicara, berjalan, dsb. Contoh kecil, seseorang keturunan jawa, yang di keluarganya selalu menggunakan bahasa jawa dalam berkomunikasi akan pandai berbahasa jawa saat Ia baru berusia 6 tahun. Seorang anak yang biasa melihat kedua orangtuanya beserta kakak-kakaknya mengucapkan salam ketika memasuki rumah, tanpa harus diajari akan dengan sendirinya mengikuti kebiasaan tersebut. Seorang anak yang biasa diajak berbincang dan berdiskusi positif di meja makan tentang apa saja yang telah dilaluinya seharian, tentang apa saja yang terjadi di luar sana, akan dengan sendirinya bercerita dan menjadi sesosok anak yang terbuka kepada keluarga walau Ia seorang yang pendiam sekalipun. Hal-hal yang biasa dicontohkan di dalam keluarga, akan terbawa dan membentuk 70% pribadi seseorang. Memang sebuah teori yang saya ciptakan sendiri, tapi saya percayai kebenarannya. Sisanya? Sisanya lingkungan. Dan lingkungan itu 80% diciptakan oleh orang tua. Pemilihan tempat sekolah, tempat les, tempat belajar mengaji, kawan bermain dan masih banyak lagi.
Bicara mengenai orangtua, tak terasa sudah ada dua teman sekelas semasa SMA yang sudah menjadi orangtua. Syafira yang pertama, disusul Lathifa. Senang sekali mendengarnya. Kedua buah hati mereka sama-sama perempuan, sama-sama cantik. Kini sudah waktunya bagi mereka mempersiapkan meja makan untuk kedua buah hatinya agar kelak menjadi pribadi yang menyenangkan dan membanggakan. Saya? Wah jangankan menyiapkan meja makan,  makan saja terkadang masih belepotan, berjatuhan dimana-mana.

In short, saya benar-benar sungguh beruntung dilahirkan di keluarga ini. J

 


Tidak ada komentar:

 
Design by Muhammad Dimas Rahman Affandi | Bloggerized by campredodellaconcetta - samid namhar - @midsamid | Lampung-Jogjakarta-Indonesia