Sabtu, 12 Desember 2015
Minggu, 01 November 2015
Tidak ada lagi alasan
12.32
Unknown
No comments
"Tidak ada lagi alibi, tidak ada lagi alasan. Mulai dari awal bulan yang baru ini, tak ada lagi yang bisa kau salahkan, dim"
16-hours-of-working-almsost-everyday since a year ago, honestly, had been killing me. Started in the morning, finished in midnight. Almost no weekend. Working hours everyday has ruined my normal-life, literally. Tapi sekarang, alhamdulillah sudah berubah. Jam kerja berkurang (kembali normal), namun amanah dan tanggung jawab bertambah. Semoga amanah ini bisa dijalankan dengan sebaik mungkin dan semua kembali berjalan normal. Aamin.
Big Hope. Less Effort.
07.09
Unknown
No comments
Alhamdulillah
dalam dua hari ini setiap pagi turun hujan. Hujan dengan intensitas sedang,
dalam durasi yang cukup panjang. Yang kerennya, hujan perlahan mereda ketika
mulai memasuki jam-jam pergi ke kantor. Semoga aja pagi ini hujannya gak
ngambek karena diceritain.
Bicara soal
hujan, ada lagi satu hal yang keren. Jadi ketika baca artinya tadi subuh,
ternyata salah-satu-proses terbentuknya kehidupan di bumi ini sudah dijelaskan
sejak-dahulu-kala di dalam Al-Qur’an. Disebutkan di dalamnya:
“Dan Allah
menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang
tadinya sudah mati”
Apa yang
dijelaskan di sana, sama persis dengan apa yang saya ketahui sebelumnya melalui
buku ilmu pengetahuan (jadul) dan salah satu program televisi. Kedua informasi
tersebut lahir setelah diadakan bermacam-macam penelitian oleh bermacam-macam
peneliti, sedangkan Al-Qur’an? Jauh sebelum (bahkan) kata “penelitian” itu
sendiri ditemukan. Keren.
Medan, atau
bahkan Sumatera bagian utara, atau lebih luas lagi bahkan Indonesia, saat ini
benar-benar sedang membutuhkan hujan. Turunnya hujan sangat diharapkan agar
kabut asap yang telah (tidak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata), dapat
terjernihkan dengan air hujan dan kebakaran-kebakaran hutan yang masih sedang
terjadi tidak meluas. Bencana kabut asap ini merupakan bencana yang benar-benar
menjadi ujian bagi pemerintah, khsusnya Bapak Presiden yang baru (setahun).
Serangannya tidak hanya di satu kampung, satu daerah, atau bahkan satu
provinsi, tapi sudah di beberapa pulau dengan berjuta populasi di dalamnya.
Ironisnya, pelaku utama hanya segelintir orang saja, tapi efeknya begitu luar
biasa. Kecewa sebenarnya ketika masalah yang begitu massive seperti ini tidak menjadi perhatian utama. Menurut saya,
tak seharusnya beliau mengadakan kunjungan (walaupun saya tahu sudah
dijadwalkan sejak lama dan sulit untuk dibatalkan) ketika bencana kabut asap
ini masih terjadi. Benahi dengan bergotong-royong dan berbagai cara, tangkap
pelakunya, dan berikan hukuman mati!
Cukup ekstrem memang, tapi lihat akibatnya. Pembunuhan massal secara
tidak langsung, meruntuhkan kegiatan perekonomian secara perlahan dan merusak
citra Negara. Terlebih beberapa pelaku yang sudah tertangkap adalah Warga
Negara Asing yang sudah pasti tidak peduli atau “mampus situ” dengan efek yang
diberikan. Memang sebenarnya sudah ada peraturan hukum akan sanksi bagi pelaku,
tapi hukuman mati itu pantas!
28 Oktober 2015
pada saat jam biologis mulai kembali normal
Sabtu, 24 Oktober 2015
Selasa, 13 Oktober 2015
Sabtu, 10 Oktober 2015
Selamat Pagi!
08.16
Unknown
No comments
"Selamat pagi Bang Dimas", ucapnya sambil senyum-senyum ke arahku. Tau sekali aku gayanya yang meledekku karena pagi-pagi sudah sok-sibuk di depan komputer. Bang Irul nama panggilannya. Dia salah satu security kami dan satu-satunya security kami yang perawakannya seperti orang benggali. Kulit coklat tua, tinggi, ramping, potongan rambut cepak, serta brewok kasar di sekitar wajah dan dagunya membuatnya terlihat seperti Adam Levine yang terlalu banyak tanning dalam program diet yang berantakan. Yeah, terlepas dari perawakannya, dia orang yang baik, asik, santai tapi serius, dan agak mesum. Untuk yang terakhir, mungkin berlaku untuk hampir semua orang di sini. Di kantor yang aku tiduri tadi malam. Mungkin lebih tepatnya disebut aula, bukan kantor, karena ruang tengahnya saja sudah memenuhi hampir 80% bangunan, tanpa ada sekat.
"What's your weirdest morning-after experience?", langsung teringat olehku saat bangun pagi tadi, efek dari buku yang semalam kubaca. Kalau experience aku sendiri, rasanya kalau diingat-ingat tidak ada experience yang keinget banget. Paling sewaktu kuliah dulu, itu pun bukan weird. Hampir setiap sabtu pagi, aku selalu punya rutinitas, yaitu jogging pagi di GSP (Grha Sabha Pramana, gedung serba guna-nya kampus). Kadang sendiri, kadang ngajak teman, walau sebenernya kalau dihitung-hitung lebih sering sendiri, karena agak payah ngajak temen yang bisa bangun pagi terus lari jam 6 pagi. Asik emang kalau hidup kita udah ada SOP nya. Setiap hari "ini" kita kesini, setiap hari "ini" kita melakukan ini, setiap bulan harus minimal "gini", setiap pagi habis "ini" harus "itu", dan "ini", "gini","gitu" sebagainya. Rutinitas baik yang akhirnya menjadi habit. The power of habit kalau kata orang. Wah, ternyata pagi sudah mulai menghilang. Siang ini kami mau main futsal dalam rangka turnamen tahunan. Sebagai juara bertahan tahun lalu (juara 3 sih), kita harus siap-siap dengan matang karena kata orang bilang "victory loves preparation". Oke kalimat terakhir berlebihan. Bye!
Sabtu, 12 September 2015
07.47
Unknown
No comments
“Here's what's not beautiful about it: from here, you can't see the rust
or the cracked paint or whatever, but you can tell what the place
really is. You can see how fake it all is. It's not even hard enough to
be made out of plastic. It's a paper town. I mean, look at it, Q: look
at all those culs-de-sac, those streets that turn in on themselves, all
the houses that were built to fall apart. All those paper people living
in their paper houses, burning the future to stay warm. All the paper
kids drinking beer some bum bought for them at the paper convenience
store. Everyone demented with the mania of owning things. All the things
paper-thin and paper-frail. And all the people, too. I've lived here
for eighteen years and I have never once in my life come across anyone
who cares about anything that matters.”
Margo Roth Spiegelman
Paper Town by John Green
Photo taken: 4th of January 2013 from the top of Mt. Ungaran, Central Java
Minggu, 30 Agustus 2015
*emote tangan berotot*
18.17
Unknown
No comments
Lampung.
Jogja.
Dieng.
Balikpapan.
Jakarta.
Bogor.
Malang.
Palembang.
Medan.
Sejauh ini, kota yang disebutkan terakhir yang paling bikin geleng-geleng kepala, sebelum akhirnya menghela napas cukup panjang.
Catatan: Daftar kota yang pernah dijadikan tempat persinggahan cukup lama
Minggu, 17 Mei 2015
Yogyakarta Coin a Chance: Mari berbagi!
02.04
Unknown
No comments
“Ada nih, di komunitas ini kamu bisa punya kesempatan buat punya adek,
jadi kakak pendamping namanya..”
Kira-kira seperti itu isi pesan singkat yang baru saja masuk,
Pesan dari seorang teman yang sudah lebih dulu gabung ke dalam
komunitas tersebut.
Menarik. Menarik sekali info tersebut. Sesuai sekali dengan
salah satu keinginan saya yang ingin memiliki adik kecil, salah satu keinginan
yang bisa jadi dimiliki oleh hampir seluruh anak bungsu di dunia ini. Salah
satu keinginan untuk bisa membantu. Sebelumnya, saya, berdua bersama
teman-satu-usaha, juga pernah memiliki “adik-bersama”, namun sepertinya punya
sendiri lebih asik. Tanpa banyak menimbang, saya mengambil kesempatan ini. Lokasi
pertemuan: Kedai Alpukat, Jakal (Jalan Kaliurang, Jogjakarta).
Terlambat, namun tetap saja disambut dengan hangat. Saat itu
pertama kali saya melihat langsung aktivitas yang masih terasa lazim bagi saya,
menghitung koin. Oh Ibu, apa yang mereka lakukan? Dalam hati bertanya. Mas
Agung adalah orang yang pertama kali saya kenal, setelah teman saya tentunya,
yang saat itu kebetulan tidak dapat hadir. Setelah perkenalan sekenanya,
berbincang sedikit dengan beberapa orang di sana, saya langsung dihadapkan oleh
sang koordinator pendamping saat itu, Mba Fabi. Saat itu juga, saya akan
diberikan tanggung jawab adik asuh, namun nampaknya Mba Fabi masih cukup
bingung untuk memilihkannya. Tiada lain, kuasa-nya lah yang telah mengatur ini
semua, hingga semesta menyetujuinya. “Kamu bakal gantiin Mas Ardi sebagai kakak
pendampingnya Dek Alif, jadi nanti kamu koordinasiin lagi aja sama dia ya”.
Yak, nama itu sudah terucap, merambat melalui udara, masuk
melalui lubang telinga, lalu diperbesar oleh gendangnya, untuk selanjutnya
diproses ke dalam otak saya. Alif. “Anaknya baik, pinter kok”, tambah Mba Fabi
untuk meyakinkan saya yang mungkin tampak ragu kala itu. Banyak pertanyaan saya
lontarkan mengenai komunitas ini dan jobdesk
sebagai kakak pendamping. Belum tuntas kebingunganku, acara telah selesai.
Giliran sekarang acara bebas. Pecah sudah. Kalian pernah lihat orang bermain
pingpong? Nah, itu saja yang dibayangkan, persis sekali, silih berganti, namun
bola kau ibaratkan tawa. Jelas nampak gembira sekali rona wajah mereka semua. Kesan
pertama: Asik.
Sepulang dari pertemuan tersebut, sebenarnya masih ada yang tak sesuai dengan ekspektasi saya, khususnya untuk kegiatan yang dilakukan. Pertama, ngumpul-untuk-ngitung-koin atau yang biasa orang bule bilang, coin dropping, itu hanya dilakukan sebulan sekali. Wah, menurut saya ini tergolong lama. Mungkin karena saya terbiasa di lingkungan kampus yang kegiatannya dilakukan seminggu sekali, atau bahkan kurang dari itu. Kedua, mengenai adik asuh. Saya bingung, jadi tugas kakak pendamping “cuman” mengawasi seperti itu? Tak ada kegiatan lain seperti misalnya dalam bayangan saya, berkelompok membuat sebuah kelas untuk mengajar? Tidak ada? Wah, yasudalah, saya coba dulu jalani komunitas “tidak biasa” ini. Hal yang dilakukan pertama: Menghubungi Mas Ardi.
Seminggu berlalu, dua minggu berlalu, masih belum ada yang
dapat saya lakukan. Karena kebetulan Mas Ardi belum punya waktu untuk menemani
saya menuju rumah sang adik asuh yang sebenarnya sudah saya lihat raganya
melalui poster yang terpampang jelas di dinding basecamp. Ternyata minggu ketiga. Mas Ardi dahulu yang menawari
saya kali ini. Oke, hari telah disepakati, deal.
Harinya pun tiba. Saya siapkan kaos klub sepakbola kebanggaan, lalu berangkatlah
saya menuju jalan yang dahulu sepertinya pernah saya tempuh saat menuju Pantai
Depok. Jalan Bantul. Setelah berpapasan di jalan, kami menuju rumah Dek Alif.
“Dekat sini mas?”, tanyaku. “Masih lumayan dim”, jawabnya cepat. Benar saja,
puluhan rumah terlewat, telah banyak hamparan sawah dilalui, belum ada
tanda-tanda Mas Ardi ingin berbelok. Hingga Mas Ardi menunjuk sebuah tempat
pengisian bahan bakar, tak lama dari itu, tepat di samping sebuah toko
klontong, kita berbelok. Gang kecil, jalanan yang tak rata, sepeda yang lalu
lalang, anak-anak yang asyik berlarian, beberapa Ibu yang sedang bercengkrama
di pinggiran jalan, ah damai sekali, menenangkan sekali. Kami ditunjukkan oleh
Yanti, yang juga adik asuh, jalan menuju rumah Dek Alif. Sepedanya terhenti,
sambil menunjuk ke arah sebuah rumah. Isi perasaan saya: Campur aduk.
Tanpa semen, tanpa cat, berpagar bambu, kami masuk ke dalam
rumah melewati sebuah pohon mangga muda dan sebuah kandang ayam yang
berpenghuni. Belum sampai ke teras rumah, seorang bocah berbaju putih keluar
dari rumah, menemui kami. Oh, salah, menemui Mas Ardi, menyalaminya. Akhirnya,
untuk kali pertama saya melihatnya secara langsung. Tak lama, Ibunya pun keluar
menemui kami. Senyum terlempar jelas dari wajahnya menyambut kedatangan kami.
Oh, salah lagi, kedatangan Mas Ardi, karena sewaktu itu saya belum
memperkenalkan diri. Setelah kami masuk, barulah Mas Ardi memberitahu bahwa
saya akan menjadi penggantinya dalam menjadi kakak pendamping. Bertanya-tanya
sedikit kepada Ibu dan Dek Alif, perkenalan singkat dan foto bersama yang
menandakan saya sah menggantikan Mas Ardi menjadi kakak pendamping Anak cowo
senang olahraga dan main gitar ini, Dek Alif!
Hari-hari berlalu, “pendekatan” saya kepada Dek Alif
berjalan lancar. Saya ajak main bola di dekat rumahnya, saya ajak main gitar
bareng, saya ajak main ke tempat-tempat seru. Ternyata dibalik pendiamnya, Dek
Alif juga punya selera humor kalau kita sudah kenal. Suka ngelawak dan suka
nyeplos. Kalau sudah begini, saya coba mulai masuk ke masalah pelajaran.
Matematika dan IPA, hanya dua mata pelajaran itu yang kami diskusikan. Ngerjain
soal di buku LKS atau sekedar ngerjain PR nya. Pintar alias cepat nangkap, tapi
susah buat fokus. Mungkin karena masih kelas 4 SD. Aktifitas seperti itu
berjalan rutin hampir setiap minggu. Terkadang saya hanya menjumpai Ibu atau
Bapaknya untuk sekedar ngobrol tentang Dek Alif. Dek Alif pernah masuk berita
di koran, pernah ikut mewakili sekolahnya turnamen sepakbola, dan yang paling
teringat, Dek Alif pernah membelikan Ibunya mesin jahit dari hasil uang jajan
dan uang beasiswanya. Anak sekecil itu dalam segala keterbatasannya, sudah
berpikiran sedemikian hebat. Salut! Rasa kesederhanaan, tak pernah pernah
mengeluh, selalu ceria dan kasih sayangnya pada kedua orangtua, sebagai kakak
pendamping Dek Alif, rasanya justru saya yang lebih banyak “diajari”.
“Coin a Chance!” adalah nama komunitas yang keren ini.
Komunitas “Coin a Chance!” telah tersebar di beberapa daerah di Indonesia,
seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan masih banyak lagi. Sesuai dengan
namanya, komunitas “Coin a Chance” adalah komunitas yang berhubungan dengan
koin dan kesempatan. Koin sebagai perantara dan kesempatan buat adik-adik
kurang mampu untuk mecapai mimpi sebagai tujuannya. Koin? Adik kurang mampu?
Apa sih?Tanpa kita sadari, masih banyak di luaran sana anak-anak yang tak mampu melanjutkan sekolahnya. Bukan karena tidak lulus, melainkan karena faktor ekonomi yang tidak mendukung. Memang ada program pemerintah untuk itu, tapi kenyataanya, tak semua anak-anak tersebut bisa mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan apa? Kesempatan untuk berhak mendapatkan pendidikan seperti yang tercantun dalam undang-undang, kesempatan untuk dapat mewujudkan mimpinya agar kelak bisa merubah kehidupan keluarganya. Berlandaskan hal ini, Coin a Chance! Mecoba menghidupkan kembali kesempatan itu, melalui koin. Kenapa koin? Bukannya nilainya kecil?
Mungkin bagi sebagian orang, koin masih dianggap remeh, koin
masih dianggap sebelah mata, tak ada harganya. Lihat saja, di sebagian
toko-toko klontong, uang kembalian berupa uang koin ditukar dengan permen.
Bahkan mungkin kita mengalami sendiri, koin kita simpan hanya untuk
berjaga-jaga apabila ada pengamen beserta kawan-kawannya. Padahal bila
“uang-uang tak berharga” itu dikumpulkan, koin-koin tersebut dapat melanjutkan
mimpi sebagian anak-anak yang kurang mampu. Selain karena sifatnya yang
“remeh”, ada satu hal mendasar lain yang menjadikan koin sebagai perantaranya,
yaitu: karena koin itu mudah. Mudah dalam arti, hampir semua orang, semua
kalangan bisa berkontribusi. Tak perlu banyak-banyak, tak perlu pusing-pusing,
hanya dengan koin bahkan seorang anak SD yang menabungkan sebagian uang
jajannya dalam sebuah celengan juga bisa ikut membantu temannya yang kurang
beruntung. Hanya dengan memasukkan uang koinnya ke dalam celengan yang tersedia
di beberapa sudut keramaian, mereka sudah berkontribusi mewujudkan mimpi
sebagian jiwa di sana. Benar-benar semua kalangan, baik tua-muda, besar-kecil,
hingga yang hidup pas-pas-an pun dapat ikut merasakan indahnya membantu. Receh
gak remeh!
Antara koin dan kesempatan, dibutuhkan sebuah alat yang
bernama, celengan. Celengan ini kemudian ditaruh di tempat-tempat yang
strategis, di tempat-tempat keramaian, di tempat-tempat berlangsungnya
transaksi jual-beli seperti di kasir. Dengan bentuk celengan yang khas dan
sebuah banner kecil, dilengkapi
sedikit sosialisasi kepada teller,
pengunjung sudah dapat menjadi donator dengan
menyisihkan uang koinnya, dan memasukkannya sendiri ke dalam celengan
tersebut. Dan setiap akhir bulan, atau setiap ada alporan bahwa celengan sudah
penuh, maka para volunteer CAC (Coin
a Chance!) akan mengambil celengan tersebut. Celengan-celengan yang sudah
terkumpul tadi, pada satu hari di setiap bulannya akan sama-sama dihitung oleh
para volunteer, atau biasa disebut
dengan Coin Collecting Day (CCD). Koin-koin yang telah terhitung tadi
selanjutnya ditukarkan dengan uang kertas agar tidak repot (bener kan, koin
hanya perantara saja). Dalam enam bulan sampai satu tahun sekali, uang yang
terkumpul dijadikan satu, lalu disalurkan oleh para volunteer ke sekolah-sekolah tempat adik asuh menimba ilmu, atau
biasa disebut dengan Coin Dropping.
Tak hanya dari koin, CAC juga membuka bagi siapa saja, baik individu ataupun
perusahaan, para donatur yang ingin menyisihkan hartanya untuk adik-adik asuh.
Adik asuh? Siapa itu?
Adik asuh merupakan anak-anak yang berprestasi namun kurang
beruntung karena terhimpit permasalahan ekonomi hingga kesulitan untuk
melanjutkan sekolah. Berprestasi di sini tidak melulu harus pintar. Anak yang
berprestasi di sini ialah anak yang gigih dan memiliki kesungguhan untuk mau
belajar guna mewujudkan mimpinya. Atau disingkat: anak yang bersungguh-sungguh.
Bersungguh-sungguh juga tidak hanya dalam akademik, tapi juga non-akademik.
Hobi yang mengantarkan mereka meraih juara. Tentu adik asuh perlu diseleksi.
Bisa diambil dari info teman-teman, warga sekitar, atau datang langsung ke
sekolah-sekolah. Seleksinya tidak rumit, asalkan mereka kurang mampu dan mau
belajar, sudah bisa menjadi adik asuh CAC.
Setiap adik asuh memiliki satu kakak pendamping. Tugas kakak
pendamping itu ada empat: Sebagai motivator, sebagai penghubung, sebagai contoh
dan sebagai kado. Sebagai penghubung maksudnya antara anak dan orang tua,
antara orang tua dan komunitas, dan antara komunitas dengan adik asuhnya.
Sebagai kado maksudnya agar adik asuh merasa bahwa kakak pendampingnya
merupakan kado untuknya. Keempat hal yang tidak mudah tentunya. Tapi seperti
itu lah memang tugas kakak pendamping, setiap volunteer pasti memiliki tugasnya masing-masing.
Lalu apa saja kegiatan CAC? Apa hanya naruh celengan-ngitung
koin-kasih ke sekolah-taruh celengan lagi- begitu seterusnya? Big no! Banyak
event seru yang pada intinya ditujukan untuk adik asuh. Berikut ini event-event
nya:
Internal
1.
Coin
Collecting Day (CCD): Acara ngitung koin bareng di tempat-tempat yang
berbeda (setiap bulan) 2. Coin dropping: Menyalurkan hasil dari CCD ke sekolahan adik asuh (1-2 kali setahun)
3. Voluntary Building: Penyegaran dan pembekalan para volunteer untuk meluruskan tujuan (1 tahun sekali)
4. Open Recruitment: Call up siapapun yang ingin jadi volunteer (1-2 tahun sekali)
Eksternal
1.
Penggalangan koin: gabung dengan komunitas lain
membuat acara, mengumpulkan koin 2. Booth CAC: Buat stand di acara forum komunitas untuk mengenalkan CAC
3. Mengikuti undangan acara komunitas lain
Adik Asuh
1.
Piknik koin: Jalan-jalan ke tempat yang edukatif
(1-2 kali setahun) 2. Kelas mimpi: Mengajak adik asuh mengenali mimpi mereka (1-2 kali setahun)
3. Kelas karya: Mengajak adik asuh berkarya (1-2 kali setahun)
4. CAC goes to school: Mengenalkan CAC ke sekolah-sekolah (1-2 kali setahun)
5. CAC Anniversary: Perayaan ulang tahun CAC bareng adik asuh (1 tahun sekali)
Lumayan banyak kan acara yang dibuat para volunteer CAC? Ohya, volunteer ya, bukan anggota. Karena
keduanya berbeda. Di CAC, setiap orang yang menjadi volunteer tidak memiliki ikatan sebagai anggota. Artinya, tidak ada
suatu hal administratif yang mengikat di sana, kecuali mengikat secara perasaan
ataupun tanggung jawab. Di CAC juga tidak ada ada satu ketua yang pasti, yang
ada hanya koordinator yang selalu berganti dan beberapa penasihat atau
“sesepuh” yang telah punya banyak pengalaman lebih dulu di CAC. Jadi, komunitas
CAC tidak pernah memaksa menguras waktumu, yang ada hanya waktumu yang akan
tersita oleh kebahagiaanmu. Karena memang pada dasarnya volunteering merupakan panggilan hati, bukanlah sebuah paksaan.
Kini, saya tidak lagi menjadi volunteer sebagai kakak pendamping di CACjogja. Sejak lulus dan
pindah kerja ke Jakarta, persis tidak ada lagi tatap muka dengan Dek Alif. Komunikasi
hanya sebatas melalui SMS dan telfon. Sekedar bertanya kabar, sekedar bertanya
kegiatan. Beberapa kali datang ke Jogja setelahnya, juga tidak sempat ke
rumahnya. Oh, salah, juga tidak menyempatkan waktu datang ke rumah Dek Alif.
Sempat sekali ikut CCD setelah pindah ke Jakarta, itu pun hanya sebentar.
Terakhir kali pamit dengan Dek Alif ialah pada saat acara pengumuman
kelulusannya. Persis H-2 sebelum keberangkatan saya ke Jakarta. Dek Alif dengan
baju khas Jogjakartanya pada saat itu tampil ke atas panggung sebagai salah
satu peraih Nilai tertinggi. Pada saat itu saya benar-benar terharu, tak terasa
saya sekat air di pelipis mata. Malu kalau sampai ketahuan menangis, karena
Ibunya saja tidak nangis. Dek Alif didampingi Ibunya di atas panggung, disalami
oleh kepala sekolah. Saya sibuk mengabadikan lewat kamera bersama Om Nono dan
Mbak Yanti yang juga hadir pada hari itu. Selain naik panggung karena nilai,
yang kerennya, Dek Alif juga naik ke panggung buat tampil bersama Band-nya.
Keren! Dek Alif dan gitarnya tampil di atas panggung dengan gayanya yang khas,
malu-malu tapi seru. Benar-benar bahagia hari itu. Di penghujung acara, saya
berpamitan kepada Dek Alif dan Orangtuanya, sambil foto bersama. Tak ada pesan
yang ku sampaikan, hanya ucapan standar, “Belajar yang rajin ya Lif! Bikin
bangga orangutamu!”. Ohya, di hari itu saya juga pamit kepada Om Nono dan Mba
Yanti, menitipkan salam kepada teman-teman volunteer
CAC yang lain. Saya tidak sempat berpamitan langsung. Panggilan kerja saat itu
benar-benar mepet. Tapi tak apa, memori akan Dek Alif dan CAC gak akan pernah
kelupa, kok, yakin.
Tak beberapa lama di Jakarta, saya pindah kerja dan saat ini
menetap di Sumatera Utara. Sempat mencari info mengenai CAC di Medan, tapi
nihil. Ah, kangen berkomunitas seperti di CAC. Bertemu teman-teman baru,
belajar banyak dari mereka, belajar dari adik asuh, benar-benar membahagiakan.
Sebenarnya sejak awal bergabung dengan komunitas ini, saya berhayal dan
bermimpi kalau suatu saat, CAC bukan lagi menjadi komunitas, lantaran menjadi
budaya. Budaya yang di support oleh
pemerintah daerah (bukan dijalankan oleh pemerintah). Budaya apa? Ya Budaya
Koin. Seperti muncul mindset di
setiap kalangan masyarakat di Indonesia kalau ketemu uang koin, ya ingat CAC.
Setiap sudut kota, restoran, tempat perbelanjaan, di setiap tempat yang
menyediakan transaksi jual-beli, bahkan di taman-taman kota, ada celengan!
Bentuk celengan nanti beragam sesuai dimana ditempatkan. Ada celengan seperti
biasa, ada juga celengan berbentuk unik seperti sekolahan, celengan berbentuk
balon udara, bahkan celengan bulat besar yang di tempatkan di taman kota dan
masih banyak lagi bentuk celengan unik dari designer arsitektur ternama yang
juga ikut ambil bagian di CAC. Semakin banyak celengan di tempatkan, maka mindset “ingat koin, ingat CAC” akan
semakin terbentuk. Trus, kalau sudah banyak celengan, gimana? Nantinya akan ada
truk pengumpul koin (semacam truk sampah). Setiap minggu ia berkeliling kota,
menghampiri titik-titik celengan (titik koin). Selain truk koin, tiap kota akan
ada juga rumah koin, tempat pengumpulan koin apabila tidak jumpa truk koin.
Selain kedua itu, para volunteer juga
tetap memantau setiap titik koin yang bisa diakses melalui aplikasi handphone,
titik koin mana yang belum di ambil. Setelah pengumpulan koin berjalan mulus,
selanjutnya konversi koin. Karena jumlahnya yang cukup banyak, koin tidak lagi
dihitung, tapi sudah di setor langsung di bank, baik dari truk koin, rumah
koin, atau para volunteer. Di sini
diharapkan kerjasama bagi setiap bank, untuk memudahkan CAC dalam menyetor koin
dan menyediakan rekening khusus CAC. Dari bank, tugas para volunteer CAC untuk menyetorkan dan meng-update nomor-nomor rekening sekolah para dik asuh yang dituju,
sehingga setiap 6 bulan, bank bisa langsung mentransfer. Kalau sudah besar
begitu, adik asuh akan semakin banyak, sehingga dibutuhkan pula volunteer yang banyak untuk
mengkoordinir event-event penunjang untuk adik asuh CAC. Tapi saya rasa, setiap
kota pasti ada orang-orang yang mau menyisihkan waktunya untuk mewujudkan
kebahagiaan. Peran pemerintah daerah ialah dengan men-support celengan, truk koin serta rumah koin. Penanggung-jawabnya
tetap berada di bawah departemen sosial daerah, tapi yang menjalankan tetap
para volunteer. Memang kejujuran jadi
modal utama, tapi saya yakin bila hal ini sudah membudaya, pekerjaan mulia ini
tidak akan dinodai, bahkan untuk sekedar terfikirkan sekalipun. Yah, memang ini
hanya angan-angan yang tentu masih banyak penyempurnaan, tapi apa salahnya
berangan-angan akan hal baik, kan?
Mungkin demikian point-of-view saya tentang komunitas Coin a
Chance. Terimakasih teman-teman CACjogja udah ngasih pembelajaran dan
kesempatan jadi kakak pendamping di kala itu. Mohon maaf kalau ada salah, maaf
cuman bisa ditulis dan baru sekarang :)
Dan buat kamu, pelajar atau mahasiswa atau wirausaha atau
siapapun anda, khususnya di Jogjakarta, Semarang, Jakarta dan daerah lain yang
ada CAC-nya, ayo gabung komunitas Coin a Chance! Selain banyak manfaat, mana
tahu bisa ketemu gebetannya! Receh gak remeh, mari berbagi! :)
Coin Collecting Day |
Voluntary Building |
CAC Anniversary |
Salam Koin!
Sabtu, 09 Mei 2015
Don't grow up, it's a trap!
17.55
Unknown
No comments
Ku tundukkan kepala melihat
lantai coklat yang mulai mengering. Beberapa menit yang lalu, petugas khusus
kebersihan yang disediakan oleh pihak kereta api baru saja selesai membersihkan
lantai yang biasanya nampak kotor dan tidak terawat. Saat ini pengelolaan
kereta api sudah lebih baik, setidaknya sudah ada petugas kebersihan yang
benar-benar membersihkan lantai.
Beberapa bercak dan aliran air
yang mengalir dari dekat pintu kereta mengambil perhatianku. Mereka mengalir
menyusuri lantai yang dirasa lebih rendah, mendekat ke arah kakiku. Semakin
lama semakin banyak, semakin lama hujan semakin deras. Suara butiran air yang
menghantam kaca jendela diselingi dengan sesekali gemuruh petir membuat
harmonisasi yang pas untuk membuatku mengingat beberapa hal yang menggangguku
belakangan ini.
Aku senang memperhatikan sekitar.
Aku senang memperhatikan orang-orang di sekitar untuk setelahnya mencoba
mengambil kesimpulan yang kubuat sendiri semauku. Dan bila itu memungkinkan,
tidak jarang aku memulai pembicaraan. Senang rasanya bisa berbincang dengan
sesorang yang baru, karena pasti ada saja hal baru yang bisa ku ketahui. Tapi
mungkin kali ini lain, saya hanya memperhatikan sekitar sambil bertanya-tanya
kepada diri sendiri.
Di hadapanku terdapat sepasang
anak muda. Sepertinya mereka telah memiliki hubungan khusus, minimal
pendekatan. Tapi kesimpulanku mengatakan bahwa mereka berpacaran. Mungkin masih
baru, karena masih agak malu-malu. Di sebelah mereka ada seorang perempuan.
Baru saja naik dari stasiun sebuah universitas ternama di Indonesia. Sepatu
kets, celana jeans, dan tas ransel
sudah cukup bagiku untuk menebak. Ditambah lagi headset putih yang Ia gunakan sejak memasuki kereta yang belom
sempat Ia lepas hingga Ia mendapat tempat duduk. Santai sekali. Jurusan Sastra
atau bahkan Teknik tebakanku. Ia benar-benar menikmati musik yang disumbat di
telinganya, mendengarkannya sambil menutup mata. Mungkin itu lagu kesukaanya,
atau lebih tepatnya lagu yang mampu mengingatkannya kembali akan memori-memori
senangnya dahulu. Wah lihat! Ada seorang anak laki-laki berlari mendekati
pintu, menginjak-injak genangan air. Sepertinya Ia senang melihat itu. Ibunya? Tidak
terlalu merisaukan, tapi tak pernah lolos mengawasi. Oke, saya sependapat.
Mereka tak melulu harus dilarang. Oh, kereta berguncang sedikit, anak kecil itu
spontan menapakkan kakinya ke belakang untuk menjaga keseimbangan, lalu lari
menuju Ibunya. Pelukan anak kecil itu memegang erat kedua kaki sang Ibu.
Kepalanya Ia tenggelamkan, diusap-usapkan ke bagian paha. Gayung bersambut,
kepala anak kecil itu pun mendapat usapan dari Bundanya. Manis sekali. Senang
melihatnya.“Don’t grow up, it’s a trap” mungkin ada benarnya. Kalau saja anak kecil tadi bukanlah anak kecil lagi, mungkin lain yang akan dilakukan. Pura-pura tidak ada apa-apa, menengok ke kanan-kiri, stay cool seolah tenang, padahal kaget karena mau jatuh terjungkal. Semua yang dilakukan hanya pura-pura agar tetap terlihat bagus, agar tetap terlihat normal. Rumit. Anak kecil tadi hanya melakukan apa yang Ia ingin lakukan. Saat takut, Ia mencoba mencari perlindungan yang terbentuk dalam sosok Ibunya. Saat rasa ingin tahunya muncul, Ia dekati genangan air yang mengalir di dekat pintu. Tanpa ada rasa ini rasa itu, tanpa memperdulikan apa kata orang. Sederhana.
Keinginan dan kebutuhan. Semakin
bertambah usia, semakin bertambah keinginan serta kebutuhan yang terkadang
terangkum jadi satu dalam sebuah kepentingan. Kedua hal yang seharusnya
terpisah, namun kebanyakan tercampur-aduk akibat tidak ada keteguhan prinsip
yang kuat. Hal yang sebenarnya keinginan menjadi sebuah kebutuhan, sedangkan
hal yang benar-benar sebuah kebutuhan itu sendiri menjadi tersingkirkan.
Keinginan dan kebutuhan tidak
hanya berbentuk materi. Keinginan untuk dihargai, keinginan untuk dipuji,
keinginan untuk dicintai, keinginan untuk menjadi perhatian, dan berbagai macam
bentuk keinginan yang lain. Manusiawi memang, tapi tentu punya batasan. Karena
pada dasarnya setiap manusia dari lahir udah diciptain rasa ingin dihargai,
rasa benci, dongkol, sayang, kasih dan lain sebagainya. Yang membedakan cuman
gimana mengeluarkannya. Ada yang bisa nahan, ada yang pelan-pelan, ada yang
spontan, ada juga yang diam-diam dan masih banyak lagi. Jadi semua kembali ke
diri kita sendiri.
Akibat keinginan dan kebutuhan yang
tercampur-aduk dan tidak dapat dikendalikan, muncul-lah sebuah kepentingan.
Kalau sudah berbau kepentingan, air laut yang tadinya asin bisa saja menjadi
manis, bahkan semanis artis pemeran film 500 Days of Summer. Kalau sudah berbau
kepentingan, bau bokong pun bisa
saja menjadi harum, bahkan seharum parfum yang dipakai Mar dari Paris. Begitu
juga sebaliknya. Hah!
Keinginan juga gak melulu
negatif. Keinginan positif juga bisa buat yang sederhana menjadi rumit.
Keinginan untuk menjaga perasaan orang lain, keinginan untuk memberi, keinginan
untuk menolong, dan keinginan positif yang lainnya. Hingga melakukan hal
positif pun bahkan menjadi rumit. Tidak seperti anak kecil yang memang tulus
bila ingin melakukan sesuatu, bagi orang dewasa bisa saja hal positif menjadi
sebuah kepentingan. Mengerikan. Kebutuhan untuk memenuhi ketenagan jiwa dengan
melakukan hal positif menjadi pudar akibat kepentingan.
Apresiasi justru kepada mereka
yang dibilang “polos” atau “lugu”. Karena mereka tidak banyak memikirkan ini-itu.
Mereka hanya melakukan apa yang menurut mereka baik demi memenuhi kebutuhan
mereka. Tidak seperti orang dewasa yang terlalu banyak memikirkan ini-itu.
Keren menjadi anak kecil, tapi bukan berarti kekanak-kanakan.
Lama melamun, aku lupa dimana nanti
aku berhenti. Bertanya kepada penumpang di samping, ternyata tujuan kami sama,
persis satu stasiun di depan. Alhamdulillah, tidak terlewat seperti dulu pernah
tertidur. Kuucapkan terimakasih lalu kupersiapkan barang bawaanku. Satu tas
ransel, satu tas jinjing di tangan kiri, dan dua kardus ukuran sedang di tangan
kanan, saya sudah tak sabar ingin merasakan “rumah”. I’m coming!
20
Maret 2015
Dalam perjalanan kereta listrik dari stasiun
Bogor menuju stasiun Juanda