Ku tundukkan kepala melihat
lantai coklat yang mulai mengering. Beberapa menit yang lalu, petugas khusus
kebersihan yang disediakan oleh pihak kereta api baru saja selesai membersihkan
lantai yang biasanya nampak kotor dan tidak terawat. Saat ini pengelolaan
kereta api sudah lebih baik, setidaknya sudah ada petugas kebersihan yang
benar-benar membersihkan lantai.
Beberapa bercak dan aliran air
yang mengalir dari dekat pintu kereta mengambil perhatianku. Mereka mengalir
menyusuri lantai yang dirasa lebih rendah, mendekat ke arah kakiku. Semakin
lama semakin banyak, semakin lama hujan semakin deras. Suara butiran air yang
menghantam kaca jendela diselingi dengan sesekali gemuruh petir membuat
harmonisasi yang pas untuk membuatku mengingat beberapa hal yang menggangguku
belakangan ini.
Aku senang memperhatikan sekitar.
Aku senang memperhatikan orang-orang di sekitar untuk setelahnya mencoba
mengambil kesimpulan yang kubuat sendiri semauku. Dan bila itu memungkinkan,
tidak jarang aku memulai pembicaraan. Senang rasanya bisa berbincang dengan
sesorang yang baru, karena pasti ada saja hal baru yang bisa ku ketahui. Tapi
mungkin kali ini lain, saya hanya memperhatikan sekitar sambil bertanya-tanya
kepada diri sendiri.
Di hadapanku terdapat sepasang
anak muda. Sepertinya mereka telah memiliki hubungan khusus, minimal
pendekatan. Tapi kesimpulanku mengatakan bahwa mereka berpacaran. Mungkin masih
baru, karena masih agak malu-malu. Di sebelah mereka ada seorang perempuan.
Baru saja naik dari stasiun sebuah universitas ternama di Indonesia. Sepatu
kets, celana jeans, dan tas ransel
sudah cukup bagiku untuk menebak. Ditambah lagi headset putih yang Ia gunakan sejak memasuki kereta yang belom
sempat Ia lepas hingga Ia mendapat tempat duduk. Santai sekali. Jurusan Sastra
atau bahkan Teknik tebakanku. Ia benar-benar menikmati musik yang disumbat di
telinganya, mendengarkannya sambil menutup mata. Mungkin itu lagu kesukaanya,
atau lebih tepatnya lagu yang mampu mengingatkannya kembali akan memori-memori
senangnya dahulu. Wah lihat! Ada seorang anak laki-laki berlari mendekati
pintu, menginjak-injak genangan air. Sepertinya Ia senang melihat itu. Ibunya? Tidak
terlalu merisaukan, tapi tak pernah lolos mengawasi. Oke, saya sependapat.
Mereka tak melulu harus dilarang. Oh, kereta berguncang sedikit, anak kecil itu
spontan menapakkan kakinya ke belakang untuk menjaga keseimbangan, lalu lari
menuju Ibunya. Pelukan anak kecil itu memegang erat kedua kaki sang Ibu.
Kepalanya Ia tenggelamkan, diusap-usapkan ke bagian paha. Gayung bersambut,
kepala anak kecil itu pun mendapat usapan dari Bundanya. Manis sekali. Senang
melihatnya.“Don’t grow up, it’s a trap” mungkin ada benarnya. Kalau saja anak kecil tadi bukanlah anak kecil lagi, mungkin lain yang akan dilakukan. Pura-pura tidak ada apa-apa, menengok ke kanan-kiri, stay cool seolah tenang, padahal kaget karena mau jatuh terjungkal. Semua yang dilakukan hanya pura-pura agar tetap terlihat bagus, agar tetap terlihat normal. Rumit. Anak kecil tadi hanya melakukan apa yang Ia ingin lakukan. Saat takut, Ia mencoba mencari perlindungan yang terbentuk dalam sosok Ibunya. Saat rasa ingin tahunya muncul, Ia dekati genangan air yang mengalir di dekat pintu. Tanpa ada rasa ini rasa itu, tanpa memperdulikan apa kata orang. Sederhana.
Keinginan dan kebutuhan. Semakin
bertambah usia, semakin bertambah keinginan serta kebutuhan yang terkadang
terangkum jadi satu dalam sebuah kepentingan. Kedua hal yang seharusnya
terpisah, namun kebanyakan tercampur-aduk akibat tidak ada keteguhan prinsip
yang kuat. Hal yang sebenarnya keinginan menjadi sebuah kebutuhan, sedangkan
hal yang benar-benar sebuah kebutuhan itu sendiri menjadi tersingkirkan.
Keinginan dan kebutuhan tidak
hanya berbentuk materi. Keinginan untuk dihargai, keinginan untuk dipuji,
keinginan untuk dicintai, keinginan untuk menjadi perhatian, dan berbagai macam
bentuk keinginan yang lain. Manusiawi memang, tapi tentu punya batasan. Karena
pada dasarnya setiap manusia dari lahir udah diciptain rasa ingin dihargai,
rasa benci, dongkol, sayang, kasih dan lain sebagainya. Yang membedakan cuman
gimana mengeluarkannya. Ada yang bisa nahan, ada yang pelan-pelan, ada yang
spontan, ada juga yang diam-diam dan masih banyak lagi. Jadi semua kembali ke
diri kita sendiri.
Akibat keinginan dan kebutuhan yang
tercampur-aduk dan tidak dapat dikendalikan, muncul-lah sebuah kepentingan.
Kalau sudah berbau kepentingan, air laut yang tadinya asin bisa saja menjadi
manis, bahkan semanis artis pemeran film 500 Days of Summer. Kalau sudah berbau
kepentingan, bau bokong pun bisa
saja menjadi harum, bahkan seharum parfum yang dipakai Mar dari Paris. Begitu
juga sebaliknya. Hah!
Keinginan juga gak melulu
negatif. Keinginan positif juga bisa buat yang sederhana menjadi rumit.
Keinginan untuk menjaga perasaan orang lain, keinginan untuk memberi, keinginan
untuk menolong, dan keinginan positif yang lainnya. Hingga melakukan hal
positif pun bahkan menjadi rumit. Tidak seperti anak kecil yang memang tulus
bila ingin melakukan sesuatu, bagi orang dewasa bisa saja hal positif menjadi
sebuah kepentingan. Mengerikan. Kebutuhan untuk memenuhi ketenagan jiwa dengan
melakukan hal positif menjadi pudar akibat kepentingan.
Apresiasi justru kepada mereka
yang dibilang “polos” atau “lugu”. Karena mereka tidak banyak memikirkan ini-itu.
Mereka hanya melakukan apa yang menurut mereka baik demi memenuhi kebutuhan
mereka. Tidak seperti orang dewasa yang terlalu banyak memikirkan ini-itu.
Keren menjadi anak kecil, tapi bukan berarti kekanak-kanakan.
Lama melamun, aku lupa dimana nanti
aku berhenti. Bertanya kepada penumpang di samping, ternyata tujuan kami sama,
persis satu stasiun di depan. Alhamdulillah, tidak terlewat seperti dulu pernah
tertidur. Kuucapkan terimakasih lalu kupersiapkan barang bawaanku. Satu tas
ransel, satu tas jinjing di tangan kiri, dan dua kardus ukuran sedang di tangan
kanan, saya sudah tak sabar ingin merasakan “rumah”. I’m coming!
20
Maret 2015
Dalam perjalanan kereta listrik dari stasiun
Bogor menuju stasiun Juanda
Tidak ada komentar: