Tak bisa dipungkiri, media sebagai sumber informasi berperan penting terhadap shape and
identity sebuah Negara. Kualitas informasi yang diberikan, sedikit banyak,
lama-kelamaan, akan mempengaruhi pembentukan mindset atau pola pikir masyarakat. Pola pikir yang berulang tanpa sadar akan membentuk perilaku, hingga
jauh dan berskala besar akan menjadi sebuah budaya. Hal yang semula tidak
lazim, bisa berubah menjadi hal yang justru digemari. Beruntung jika hal baik.
namun bila sebaliknya?
Tak ada yang sulit untuk mengakses informasi kini. Dimanapun
dan kapanpun, tiap orang bisa melakukannya. Lain saat dulu, media yang
diandalkan hanyalah media cetak. Itu pun tak semua bisa. Radio? Tak banyak yang
punya, lagi pula tak banyak saluran-nya. Media televisi bahkan bisa dihitung di
setiap kampung. Tapi kini? Bahkan dalam satu rumah memiliki lebih dari satu
televisi. Hampir tiap orang di kota bahkan memiliki telefon genggam yang mampu
menyediakan apapun informasi yang diinginkan.
Dari sekian banyak media yang tersedia, televisi-lah media
nomor satu yang paling digemari di Indonesia. Media yang interaktif dan banyak
hiburan. Menonton televisi telah menyatu menjadi bagian aktivitas rutin yang
dilakukan masyarakat, setiap hari. Tak ayal, banyak para penjual produk/jasa
yang menjajakkan jualannya di televisi. Atau bahasa televisi yang biasa
didengar: iklan. Semakin banyak iklan, tentu pendapatan yang didapat para
penyelenggara saluran televisi semakin besar. Hal ini menjadikan media televisi
menjadi lahan bisnis yang begitu menggiurkan.
Saluran televisi berlomba-lomba untuk mencari banyak
penonton agar banyak pula iklan. Banyak cara dilakukan, bermacam program
ditayangkan untuk menarik penonton. Berlandaskan kreatifitas dan kebebasan
media, program “yang penting laku” pun pada akhirnya banyak bermunculan.
Paham “yang penting laku” tersebut pasti memiliki akar. Berikut
ini coba dijabarkan beberapa hal yang (menurut saya) menjadi akarnya.
1. Kontroversi. Hal-hal yang justru berbau
kontroversi entah kenapa justru digemari. Tayangan yang menyajikan kontroversi
akhirnya marak bermunculan. Hal yang paling menarik perhatian banyak masyarkat
tentu kontroversi para public figure
atau lebih khususnya artis. Baru menikah tahun lalu tapi kenapa sudah ingin
pisah? Baru pisah kok udah keliatan jalan berdua? Baru jalan berdua kok udah
jalan sama yang lain? Baru jalan sama yang lain tapi kok jalan lagi sama sesama
jenis? Ya, tapi demikianlah kenyataanya. Sebagian besar dari masyarakat
menyukai hal tersebut. Lama-kelamaan ditonton, maka akan jadi hal yang lazim,
tidak masalah untuk ditiru. Kelanjutannya? Budaya pun bergeser. Jadi salah
siapa? Salah masayarakat? Mana mungkin disalahkan. Media yang seharusnya
bertanggung-jawab atas ini. Sebenarnya sah-sah saja memberitakan public figure, asalkan berita yang
baik-baik, bukan kontroversi dan simpang siur. Bisnis memang bisnis, tapi
mungkin di sinilah peran pemerintah, sebagai pengendali. Namun kalau semua
dibuat peraturan, tak akan pernah muncul kesadaran. Yang muncul mungkin hanya
kecurangan-kecurangan. Kesadaran pemilik media pada akhirnya menjadi solusi
yang diharapkan. Bahwa sebenarnya pasti ada saja produk yang ingin “mejeng” di
acara tersebut bukan karena kontroversi, tapi karena attractive and innovative. Karena sejatinya bila bermanfaat, media
itu mulia, menyampaikan informasi kepada siapa saja.
2. Pakaian wanita. Kodrat lelaki tak bisa dielakkan
pasti tertarik akan wanita. Dan beberapa media mengambil kesempatan ini sebagai
cara ara mudah menjaring penonton lelaki. Kostum yang “mengundang” disediakan,
bayaran artis ditinggikan, penonton tertarik, iklan mendekat, pemilik girang.
Artis ya senang-senang saja dapat bayaran tinggi. Penonton tentu saja tertarik
melihat yang asik juga cantik. Melihat rating naik, iklan ya mendekat. Awalnya
terbuka atas saja, lalu ke bawah, kemudian samping, dan belakang pun jadi lah.
Hari demi hari masyarakat tercuci. Pakaian seperti yang dipakai di televisi
dianggap bagus, dianggap pantas. Parahnya, anak putih-abu-abu, anak putih-biru,
bahkan sampai putih-merah pun ikut-ikutan meniru. Kebebasan berekspresi jadi
dalih, seni mereka bilang, sehingga bukan salah media. Oh man, mereka telah berhasil mencuci kita, menggerogoti hal-hal lain
yang seharusnya diperhatikan generasi muda kita. Siapa mereka? Entah lah.
Padahal sebenarnya, wanita tetap menarik kok mengenakan pakaian yang sopan.
Benar kan, lelaki? Kalau sudah begini, siapa yang salah? Lagi-lagi masyarakat
tidak bisa disalahkan. Lembaga sensor disalahkan? Mereka sudah cukup benar.
Mensensor apa yang terlihat tidak pantas,
menegur sebagian yang keluar batas. Tapi apa cukup? Tetap saja.
Lagi-lagi kesadaran pemilik media yang paling bisa diharapkan. Kesadaran untuk
menjaga akhlak para generasi muda dengan tidak menuhankan bisnis semata.
3. Celaan. Beberapa acara menyediakan tempat untuk
mengejek atau memberikan celaan satu sama lain. Hasilnya tertawa, penonton pun
senang. Formula yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Hingga menghina secara tanpa sadar telah
menjadi hal biasa.
4. Pembodohan melalui musik. Musik sebenarnya baik
untuk dijadikan program acara di televisi, tapi kalau sudah mengarah ke
pembodohan? Hilang sudah tujuan muasik. Musik digunakan untuk berjoged tidak
pantas, bahkan dilakukan anak kecil! Lagi-lagi berdalih kebebasan seni. Pih!
5. Pemberitaan yang berpolitik. Ketika pemilik
media merupakan punggawa politik, mengerikan sekali. Kalau sudah begini,
mungkin tujuan pemilik bukan lagi soal bisnisnya di media, tapi pencitraan diri
/ kelompok, bahkan pencitraan buruk kelompok lain. Media men-“drive” pemikiran
masyarakat akan seseorang / sekelompok orang. Hal ini dilakukan demi kekuasaan,
setelah uang telah berhasil didapatkan. Nyatanya, banyak juga masyarakat yang
berminat, iklan mendekat. Sekali dayung, dua pulau telampaui. Dengan
pemberitaan yang tidak lagi netral, buat apa lagi disebut media? Katakan saja biro
iklan, biar jelas sekalian. Hal yang disesalkan adalah para reporter, pembawa
berita dan seluruh kru media tersebut. Kalau sudah mau teracuni seperti itu,
dimana idealisme dan jati dirinya sebagai awak media? Apakah hilang karena
uang? Sayang sekali rasanya. Solusi? Hampir bosan menyebutnya, apalagi kalau
bukan kesadaran pemilik. Kesadaran bahwa masyarakat membutuhkan tontonan yang
menghibur dengan mendidik , tontonan yang memeberikan semangat nasionalisme,
memberikan motivasi untuk membentuk kepribadian bangsa yang baik, tontonan yang
dapat membakar semangat para generasi untuk berlomba-lomba berkarya di
bidangnya masing-masing. Bukan tontonan yang disajikan hanya untuk meraup
keuntungan semata. Ah, semoga mereka tersadar.
Memang tidak semua media televisi kita menggunakan ke-lima
akar tersebut untuk menjaring penonton. Mungkin hanya sebagian. Tapi apa masih
ada media yang tidak mengedepankan paham “yang penting laku”? Masih adakah yang
tidak menggunakan akar-akar tersebut?
Terkecuali
saluran televisi nasional, sejauh ini saya kira “NET.” is still on the right track.
Program beritanya berimbang. Yang perlu di-kritik ya di-kritik.
Yg perlu di-angkat ya di-angkat. Yang perlu anak Indonesia tau akan
prestasi-prestasi membanggakan, pasti ditampilin. Ide-ide kreatif baru yang
muncul juga disiarin. Pokoknya menebar optimisme, bukan pesimisme. Kritis
membangun, bukan menjelekkan. Top!
Program lain yang menawarkan semangat optimisme, Satu
Indonesia. Mengulas satu anak Indonesia yang keren, yang berprestasi, yang
jago, yang jenius, yang kreatif, yang membanggakan, pokoknya yang keren! Lewat
wawancara santai, visi misi keren mereka dijabarkan melalui jawaban-jawaban, Bikin
orang yang nonton jadi ikut kebawa semangat mereka. Gokil!
Program dokumenter ada Indonesia Bagus dan Lentera Indonesia.
Indonesia Bagus mengarah ke sumber daya alamnya, sedangkan lentera Indonesia lebih
condong ke sumber dayanya. Dan semuanya tentang Indonesia. Asik!
Program hiburannya, gak ada yang aneh-aneh, gak ada yang
norak. Beberapa talkshow dan sitkom. Acara musiknya keren-keren, acara olahraga
juga. Acara lawak malah ada yang pake wayang. Acara lainnya? Seru!
Wishnutama, salah satu orang keren dibalik stasiun TV ini. Visi-nya
di media memang luar biasa. Semoga makin banyak orang-orang keren seperti
beliau supaya makin banyak stasiun televisi seperti ini, bahkan lebih. Ohya,
semoga juga makin banyak iklan-iklan yang nemplok
di NET. supaya lahir lagi program-program keren yang lain. Terakhir, semoga gak
ada yang beranggapan kalau saya promosi. Semoga.