Pemandangan di luar jendela gelap, hanya ada satu buah lampu hemat energi 16 Watt dan seekor cicak yang sudah cukup lama berada di langit-langit balkon itu, berdiam diri mendekati lampu. Mungkin Ia menyukai cahaya, mungkin juga Ia merasakan hangat. Oh kalian tahu? Beberapa saat setelah mengetik beberapa kata di atas, cicak itu bergerak sedikit menjauhi lampu. Mungkin dia mulai mengerti kalau Saya membicarakannya. Mungkin saja, bukannya mereka sering bilang “apa yang tak mungkin”? Bahkan slogan alat olahraga ternama dunia saja bilang “Impossible is nothing”. Ya jelas sih, impossible yang artinya “tidak mungkin” itu kan sebenarnya tersusun dari dua kata: I’m & possible. Artinya: Saya mungkin. Aneh ya kata-kata itu. Sebenarnya siapa sih yang buat kata-kata? Bisa jadi sang pencipta kata-kata dahulunya memang sudah memikirkan itu. Bisa jadi. Oh ya, pertanyaan tadi belum terjawab. Siapa sih yang buat kata-kata? Pasti orangnya pinter deh. Pasti Ia sering bergaul alias bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya saat itu. Tapi yang jelas, pasti Ia punya kekurangan. Saya yakin. Karena tiap orang memiliki kekurangan. Hanya saja tidak banyak diantara orang-orang tersebut yang tidak terlalu mencemaskan kekurangannya. Beberapa lagi justru menjadikan kekurangannya menjadi kelebihan atau sebuah dorongan. Sebuah dorongan yang memacu dirinya untuk berbuat lebih, berbuat semaksimal mungkin. Pernah baca atau nonton sekuel novel Negeri 5 Menara? Ya, pasti kalian tahu kutipan “Man Jadda wa Jada”. Artinya: siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Bahkan saya menjadikan kutipan ini sebagai status di salah satu aplikasi telfon genggam untuk berkomunikasi via text. Harapannya: Saya bisa terus mengingat, mengingat untuk selalu berbuat sungguh-sungguh.
Sekedar informasi, tulisan di atas ditulis 24 November 2014. Artinya, sudah satu bulan kurang satu hari yang lalu tulisan itu dibuat. Lama, tapi cukup wajar untuk seorang penulis berstatus abal-abal. Menulis kalau sempat, menulis kalau tidak ada lagi yang dikerjakan. Oke baiklah, ganti paragraf saja.
Pagi ini, mungkin sebagian orang masih beristirahat di atas tempat tidurnya. Sebagian yang lain sedang bersiap-siap untuk beribadah. Sebagian yang lain mungkin malah masih bekerja walaupun hari ini adalah hari libur nasional menghormati kaum nasrani yang merayakan ibadah besarnya. Untuk saya sendiri? Saya berada di pilihan pertama dan ketiga. Masih beristirahat tapi juga masih bekerja.
Handy Talkie (HT) berdiri saja di batasan jendela, satu-satunya akses menuju balkon. Sejak satu jam yang lalu saya memantau suara-suara dari HT sambil sedikit-sedikit ikut berkomunikasi. Maklum, HT merupakan satu-satunya alat komunikasi yang efektif untuk menjaga kondisi kelistrikan. Tak perlu biaya, jangkauan cukup luas, dan yang terpenting bisa didengar oleh banyak pemegang HT yang lain yang menggunakan frekuensi yang sama. Kredit untuk pencipta HT.
Sudah hampir 6 bulan saya sah bekerja di perusahaan listrik milik negara ini.
(skip)
Lagi-lagi tulisan tertunda, hari itu tanggal 25 Desember 2014. Saya baru ingat kalau saya harus beranjak, sehingga baru bisa dilanjutkan lagi hari ini. Oke, lanjut.
Ya, dalam jangka waktu hampir setengah tahun tersebut, banyak sekali hal-hal baru yang saya temui, yang saya dapati. Pengalaman-pengalaman baru yang seru, masalah-masalah baru yang menantang.
Sumatera Utara merupakan provinsi paling utara di Indonesia yang pernah saya singgahi saat pertama kali menginjakkan kaki di sini. Panas? Tidak begitu. Lebih panas Kota Balikpapan. Tapi panas itu relatif kok, jadi jangan dijadikan acuan. Udara? Cukup segar, terutama dibandingkan dengan Jakarta, sampai-sampai langit biru tidak pernah terlihat lagi karena tertutup polusi. Eits tapi jangan salah, justru karena polusi-polusi itu, matahari senja di Jakarta jadi yang paling keren. Coba deh liat setiap senja di Jakarta, asalkan tidak mendung, matahari bakal terlihat besar dan bundar. Kita bisa melihat jelas tiap lekuknya, tanpa takut silaunya, berada di antara gedung-gedung bertingkat. Polusi telah mem-filter silau cahayanya sehingga silau di pinggir-pinggir bundaran matahari tidak nampak. Panas, udara, selanjutnya budaya. Kata orang, entah siapa orang itu, budaya orang-orang di Sumatera Utara itu cenderung keras. Tapi tak tahu lah, saya tidak begitu peduli. Justru semakin ingin tahu. Terutama ingin tahu destinasi-destinasi wisata alam yang banyak di kota terbesar di Sumatera ini. Yeahu!
Excited? Tidak begitu. Saya hanya coba mensyukuri yang telah diberikan, walau ada rasa sedih karena jauh dari kampung halaman. Jauh dari orang tua yang saat ini hanya tinggal berdua di rumah, yang sudah tidak muda lagi. Kalau bisa pun meminta, ingin rasanya dapat di sana saja. Bersama mereka, dekat dengan mereka. Tapi? Ah balik lagi, coba syukuri saja yang didapat ini, sambil mencari pengalaman dan belajar sebanyak-banyaknya, sambil berdoa agar cepat kembali ke kampung halaman. Doain terus ya Mah, Pah! :)
Tempat kedua saya bekerja ini sangat berbeda dengan tempat saya bekerja pertama kali. Kalo dijadiin satu kata mungkin jadinya, “lebih-bebas”. Kebebasan ini yang jadi ujian buat saya sendiri. Bisa atau tidak tetap berada di track yang benar. Hablumminallah dan hablumminannas. Bebas di sini luas banget, tapi bukan yang macem-macem ya. Next post bahas lebih rinci tentang ini deh.
Intinya.. (delete) postingan ini ngalur-ngidul. Mungkin efek karena ditunda. Mungkin juga karena gak ada tempat buat dicurhatin. Haha!!