Seketika saja, keinginan ini muncul begitu besar. Ya, saya memang sering seperti ini. Mendadak. Jarang sekali terencana. Saya tahu ini tidak baik. Tahu benar. Tapi.. ya sudahlah.
Pukul 15:45 selepas shalat ashar. Saya bergegas menghampiri kotak pengambilan uang elektronik, mengambil seperlunya, lalu menuju ke lokasi berkumpulnya ular-ular besi itu. Hanya tersisa Bengawan dengan biaya yang hampir 4x lipat dari biasanya, saya tetap membelinya. Ya, tiket sudah di tangan, kereta akan berangkat pukul 18:00, itu berarti tersisa 90 menit lagi. Ah, cukup, kata saya dalam hati.
Ambil tas yang sedang dijemur, memilih beberapa pakaian, dua celana dengan salah satunya celana kotor, beberapa alat elektronik, dan 2 buah buku, tas akhirnya penuh. Membasuhi badan dengan air dan sempat pula menghampiri Angkel (Angkringan Elektro) untuk sekedar mengisi perut sekaligus mengisi botol minum di burjo sebelahnya, pukul 17:40 saya siap untuk diboncengi teman saya menuju Lempuyangan. Semua berlalu begitu cepat.
2 kotak bakpia dan seorang mahasiswa geografi mewarnai sedikit perjalanan saya sebelum menunggangi sang Bengawan. 18:07 saya kembali meninggalkan kota "ngangeni" ini.
Ah, saya lupa! Sewaktu packing ada yang terlewat, sebuah benda yang 'terkadang' penting, headset. Kalau begini jelas, semalam suntuk ini hanya akan saya habiskan dengan berbincang entah-apa dengan entah-siapa. Benar saja, 2 orang teman duduk saya nampaknya senang berbincang, cocok sekali! Satu Bapak pensiunan marketing di bidang farmasi dan seorang paruh baya yang sedang meneruskan strata 2 nya di Universitas Negeri Yogyakarta. Banyak sekali topik yang kami bicarakan, hingga sang pemuda terlelap lebih dulu, saya lanjut berbincang dengan si Bapak. Hingga tengah malam, hampir saja hari mulai berganti, kalau saja saya tak mulai mengakhiri, mungkin perbicangan itu akan berlanjut hingga pagi.
Shubuh di stasiun senen, saya lanjutkan dengan kereta senja solo menuju stasiun kota. Telefon dan lontong sayur stasiun kota menghiasi pagi itu. Hingga akhirnya trans jakarta membawa saya ke terminal Xderes (baca: kali deres). Tak ada yang istimewa hingga saya menaiki kapal feri Dharma Kencana IX. Sungguh sekali kapal yang satu ini. Coba saja.
Duduk dengan seluruh badan diterpa angin. Ah, waktu yang tepat untuk berfikir...
"Yang tegas dong mas, kalo travel travel, kalo bis ya bis!" bentak preman berbadan gendut tepat di hadapan saya, di pelabuhan Bakauheni. Memang, gara-gara saya, para calo itu menjadi sedikit berselisih memperbutkan
pantat saya untuk sekitar 2 jam kedepan. Dengan pertimbangan waktu, saya memilih travel.
"Maaf mas, saya bla..bla..bla.. nanti ongkosya dikurangin deh". Selalu begitu cerita travel saya. Selalu saya ditaruh dipinggir jalan begitu saja. Tapi tak apa lah, toh saya juga terkadang senang. Senang kembali menaiki angkutan kota khas yang satu ini, terutama yang kuning warnanya. Ah, kursi yang saya duduki layaknya perantara mesin waktu, membawa saya menuju beberapa tahun silam.
Nge-gantung, nge-dek, nungguin angkot berjam-jam, jedam-jedum, "ngalah ya dek, ngalah sama cewek nih", ngeliatin gaya khas supir angkot muterin setirnya yang kecil itu, rrrong-rrrong....
...
"Permai permai ?" cekatan saya menjawab "Iya permai yaa". Berhentilah saya di pertigaan becak-becak itu. Dan Bapake sudah menunggu disana, untu menjemput saya :')
Suasana rumah, suara teriakan mamake, batuknya bapake, rewelan kakake pertama, kamar tercinta, speedy, pukis pasar tempel, martabak 21, mie aceh, mie bilal, sop kambing, pisang ambon, ah...
Hanya kurang satu. Dan itu sejak kepergian beliau. Tapi saya akan menghampiri kediamanmu kawan! Semangat! :]